darussalaf : Wahabi / Wahhaby bukan salafy/salafi/sunni

darussalaf : Ahlusunnah membongkar wahaby/anti madzab

Sunah mencium tangan Nabi dan ulama (hadis shahih)

Posted by admin on October 22, 2015

Mencium tangan para ulama merupakan perbuatan yang dianjurkan agama. Karena perbuatan itu merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada mereka.
Dalam sebuah hadits dijelaskan:

عَنْ زَارِعٍ وَكَانَ فِيْ وَفْدِ عَبْدِ الْقَيْسِ قَالَ لَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِيْنَةَ فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا فَنُقَبِّلُ يَدَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَهُ – رَوَاهُ أبُوْ دَاوُد

Artinya :    Dari Zari’ ketika beliau menjadi salah satu delegasi suku Abdil Qais, beliau berkata, Ketika sampai di Madinah kami bersegera turun dari kendaraan kita, lalu kami mengecup tangan dan kaki Nabi s.a.w. (H.R. Abu Dawud).
>

عَنِ ابْنِ جَدْعَانْ, قالَ لاَنَسْ : اَمَسَسْتَ النَّبِيَّ بِيَدِكَ قالَ :نَعَمْ, فقبَلهَا

Artinya :    dari Ibnu Jad’an ia berkata kepada Anas bin Malik, apakah engkau pernah memegang Nabi dengan tanganmu ini ?. Sahabat Anas berkata : ya, lalu Ibnu Jad’an mencium tangan Anas tersebut. (H.R. Bukhari dan Ahmad)

عَنْ جَابرْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ عُمَرَ قبَّل يَدَ النَّبِيْ.

Artinya :    dari Jabir r.a. sesungguhnya Umar  mencium  tangan Nabi.(H.R. Ibnu al-Muqarri).

عَنْ اَبيْ مَالِكْ الاشجَعِيْ قالَ: قلْتَ لاِبْنِ اَبِيْ اَوْفى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : نَاوِلْنِي يَدَكَ التِي بَايَعْتَ بِهَا رَسُوْلَ الله صَلى الله عَليْه وَسَلمْ، فنَاوَلَنِيْهَا، فقبَلتُهَا.

Artinya :    Dari Abi Malik al-Asyja’i berkata : saya berkata kepada Ibnu Abi Aufa r.a. “ulurkan tanganmu yang pernah engkau membai’at Rasul dengannya, maka ia mengulurkannya dan aku kemudian menciumnya.(H.R. Ibnu al-Muqarri).

عَنْ صُهَيْبٍ قالَ : رَأيْتُ عَلِيًّا يُقبّل يَدَ العَبَّاسْ وَرِجْلَيْهِ.

Artinya :    Dari Shuhaib ia berkata : saya melihat sahabat Ali mencium tangan sahabat Abbas dan kakinya. (H.R. Bukhari)
Atas dasar hadits-hadits tersebut di atas para ulama menetapkan hukum sunah mencium tangan, ulama, guru, orang shaleh serta orang-orang yang kita hormati karena agamanya.
Berikut ini adalah pendapat ulama
1.    Ibnu Hajar al-Asqalani
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani telah menyitir pendapat Imam Nawawi sebagai berikut :

قالَ الاِمَامْ النَّوَاوِيْ : تقبِيْلُ يَدِ الرَّجُلِ ِلزُهْدِهِ وَصَلاَحِهِ وَعِلْمِهِ اَوْ شرَفِهِ اَوْ نَحْوِ ذالِكَ مِنَ اْلاُمُوْرِ الدِّيْنِيَّةِ لاَ يُكْرَهُ بَل يُسْتَحَبُّ.

Artinya :    Imam Nawawi berkata : mencium tangan seseorang karena zuhudnya, kebaikannya, ilmunya, atau karena kedudukannya dalam agama adalah perbuatan yang tidak dimakruhkan, bahkan hal yang demikian itu disunahkan.
Pendapat ini juga didukung oleh Imam al-Bajuri dalam kitab “Hasyiah”,juz,2,halaman.116.

2.    Imam al-Zaila’i
Beliau berkata :

 (يَجُوْزُتقبِيْلُ يَدِ اْلعَالِمِ اَوِ اْلمُتَوَرِّعِ عَلَى سَبِيْلِ التبَرُكِ…

Artinya :    (dibolehkan) mencium tangan seorang ulama dan orang yang wira’i karena mengharap barakahnya.
(Disarikan dari  buku Amaliah NU dan Dalil-Dalilnya, Penerbit LTM (Lembaga Ta”mir Masjid)PBNU.

http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,10-id,27612-lang,id-c,ubudiyah-t,Tradisi+Mencium+Tangan+Kyai-.phpx

Artinya :    (dibolehkan) mencium tangan seorang ulama dan orang yang wira’i karena mengharap barakahnya.
(Disarikan dari  buku Amaliah NU dan Dalil-Dalilnya, Penerbit LTM (Lembaga Ta”mir Masjid)PBNU.http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,10-id,27612-lang,id-c,ubudiyah-t,Tradisi+Mencium+Tangan+Kyai-.phpx

Posted in Sunah mencium tangan Nabi dan ulama (hadis shahih) | Tagged: | Leave a Comment »

kesesatan al quran terjemah saudi wahabi 1 = ayat ” kursi” (wahabi gunakan hadis dhoif untuk aqidah tajsim)

Posted by admin on April 25, 2014

Imagean taerj

 

 

Amati al-Quran berciri sampul seperti dalam foto. Tahukah Anda? Ya, ini adalah al-Quran terjemah yang disertai dengan tafsirnya pada catatan kaki (footnote). Al-Qur’an itu menggunakan terjemahan Bahasa Indonesia dari Departemen Agama RI tetapi diterbitkan dan didistribusikan oleh Kerajaan Arab Saudi yang menganut paham Salafi Wahabi. Mushaf al-Qur’an tersebut biasanya dibagi-bagikan secara gratis kepada jama’ah muslim dari Indonesia.

Ada apakah gerangan dengan al-Qur’an terbitan Arab Saudi (Wahabi Salafi) itu? Coba Anda buka dan lihat kembali, perhatikan  Surat al-Baqarah ayat 255, atau biasa kita kenal dengan Ayat Kursi. Dalam footnote tertuliskan:

“Kursi dalam ayat ini oleh sebagian mufassir mengartikan Ilmu Allah, ada juga yang mengartikan kekuasaanNya. Pendapat yang shahih terhadap makna “Kursi” adalah tempat letak telapak Kaki-Nya.”

Perhatikan tulisan yang berbunyi “Pendapat yang shahih terhadap makna ‘Kursi’ adalah tempat letak telapak Kaki-Nya”. Lebih diperinci maksud tulisan tersebut kata “Kursi” dalam ayat itu diartikan sebagai “Tempat telapak kaki Allah SWT”. Ini jelas tafsiran yang membahayakan dan sangat berbahaya bagi aqidah ahlussunnah wal jama’ah. Tafsir al-Qur’an tersebut menjerumuskan aqidah umat Islam kepada aqidah tasybih(penyerupaan Allah dengan makhlukNya). Apalagi dibumbui dengan klaim “Pendapat yang shahih”, padahal itu hanya akal-akalan saja. Maha Suci Allah dari penyifatan makhluk kepada DzatNya.

Adapun mengenai tafsiran Kursi sebagai ‘tempat kedua telapak kaki Allah’, kelompok Wahabi Salafi beralasan dengan hadits riwayat Ibnu Abbas Ra.:

الكُرْسيُّ مَوْضِعُ قَدَمَيْهِ

“Kursi adalah tempat kedua telapak kaki (Allah).” (HR. al-Hakim no. 3116).

Kelompok Wahabi Salafi mengatakan bahwa hadits dari Ibnu Abbas itu adalah mauquf, diantara mereka ada satu orang bernama Syuja bin Mukhallad mengatakan bahwa riwayat ini marfû’ berasal dari Rasulullah SAW. Pernyataan Syuja bin Mukhallad yang mengatakan bahwa hadits ini marfû’ menyalahi riwayat para perawi terkemuka lainnya yang telah menetapkan bahwa hadits ini hanya mauqûf saja, dengan demikian pernyataan Ibnu Mukhallad ini adalah salah. Sementara telah jelas bahwa hadits-hadits mauqûf tidak dapat dijadikan dalil dalam masalah aqidah.

Adapun pemahaman hadits tersebut, jika tetap hendak diterima, adalah bahwa besarnya al-Kursi dibanding dengan Arsy adalah bentuk yang sangat kecil sekali. Perumpamaan besarnya kursi hanyalah seukuran dua telapak kaki seorang yang duduk di atas ranjang. Artinya, ukuran tempat pijakan dua kaki itu sangat kecil jika dibanding ranjang yang didudukinya. Adh-Dhahhak berkata: “Kursi adalah tempat yang dijadikan pijakan dua kaki oleh para raja yang berada di bawah tempat duduk (singgasana) mereka.”

Berikut ini adalah tafsiran yang benar, dinukil dari kitab Tafsir Jalalain QS. al-Baqarah ayat 255:

وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ

“KursiNya meliputi langit dan bumi”, ada yang mengatakan bahwa maksudnya ialah ilmuNya, ada pula yang mengatakan kekuasaanNya, dan ada pula Kursi itu sendiri yang mencakup langit dan bumi,karena kebesaranNya, berdasarkan sebuah hadits: “Tidaklah langit yang tujuh pada kursi itu, kecuali seperti tujuh buah uang dirham yang dicampakkan ke dalam sebuah pasukan besar.”

Yang perlu dipahami adalah kursi Allah tidak bisa disamakan dengan kursi manusia pada umumya. Karena Allah memiliki sifat Mukhalafatuhu lilhawaditsi (berbeda dengan makhlukNya). Tentang makna ‘kursi’ itu sendiri, para ulama masih berbeda pendapat. Ada segolongan ulama yang memaknai ‘kursi’ sebagai ilmu Allah berdasarkan riwayat ath-Thabari dari Ibnu Abbas Ra.: “Kursi Allah berarti ilmu Allah.” Sementara ulama yang lain memaknai ‘kursi’ sebagai ‘Arsy itu sendiri. Al-Hasan berkata: “Kursi adalah ‘Arsy itu sendiri.” Pendapat lain mengatakan bahwa ‘kursi’ adalah kekuasaan Allah yang dengannya Dia mengendalikan langit dan bumi.

Masing-masing pendapat tersebut memiliki sudut pandang dan pertimbangan tersendiri, sesuai dengan riwayat yang telah diterima. Yang jelas, sekali lagi kursi Allah tidak sama dengan kursi-kursi pada umumnya. Dan lihat juga dalam kitab-kitab tafsir lainnya untuk membuktikan bahwa para ulama tidak ada yang menafsirkan seperti penafsiran para ulama Salafi-Wahabi.

Untuk itulah, kami himbau kepada umat Islam di Indonesia agar berhati-hati dengan al-Qur’an terjemah yang dibuat oleh Wahabi Arab Saudi. Apalagi dengan buku-buku Islam terjemah buatan Arab Saudi yang sudah dikotori oleh tangan-tangan jahil Wahabi Salafi. Lebih baik tidak usah menerima al-Qur’an dan buku-buku terjemah yang berasal dari Arab Saudi karena itu memberikan keselamatan yang lebih baik daripada aqidah anda rusak tanpa disadari. Wallahu al-Musta’an A’lam. (Muslimedianews)

Posted in Uncategorized | Tagged: | Leave a Comment »

video salafytobat di youtube : bukti wahabi salafi memalsukan kitab klasik islam

Posted by admin on October 24, 2012

 

Bukti Wahabi Memalsukan Kitab Klasik Ulama Islam Sunni (Part 1: 4 dari 40 kitab yang dipalsukan)

Wahabi Memalsukan Kitab Shahih Bukhary

Wahabi Memalsukan Kitab Minhâj al-Sunnah al-Nabawiyyah (Karya Ibnu Taymiyah)
Wahabi Memalsukan kitab Nihayah al-Qaul al-Mufid fi Ilm at-Tajwid (Karya Syaikh Muhammad Makki Nashr al-Juraisi)
Wahabi Palsukan Kitab tafsir “Ash-Shawi ‘ala Tafsir Al-Jalalain” (Karya Syeikh Ahmad Bin Muhammad As-sowi Almaliki)
http://salafytobat.wordpress.com

Posted in video salafytobat di youtube : bukti wahabi salafi memalsukan kitab klasik islam | Tagged: | Leave a Comment »

Video salafytobat di youtube : Dalil Dan Bukti Legalitas Amalan Maulid Nabi dalam Kitab Imam Ahlusunnah

Posted by admin on October 24, 2012

Dalil Dan Bukti Legalitas Amalan Maulid Nabi dalam Kitab Imam Ahlusunnah
1. Kitab Bidayah Wannihah (Ibnu Katsir)
2. Imam Dhahabi (Kitab Tarikh al-Islam: wa-tabaqat al-mashahir wa-al-a`lam)
3. Kitab Al Hawi lil Fatawi (Imam Jalal al-Din al-Suyuti)
4. Husn al-Maqsad fi Amal al-Mawlid, (Imam Jalal al-Din al-Suyuti)
5. Kitab Syarah al ‘alamah Azzarqani
6. Dalil Dalil Keutamaan Maulid

http://salafytobat.wordpress.com

قُلْ بِفَضْلِ اللّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
“Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. QS.Yunus:58.
Ibnu Abbas Ra.:
Kurnia Allah : Ilmu Islam /Syariat Islam
Rahmat Allah : Di Utusnya baginda Muhammad SAW. Sebagai Rahmat Seluruh Alam

—-senin, 12 rabiul awal : hari kelahiran nabi
Rasulullah SAW sendiri mensyukuri atas kelahirannya. عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ . رواه مسلم”Dari Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari senin.
Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku”. (H.R. Muslim, Abud Dawud, Tirmidzi, Nasa’I, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah dan Baghawi).

—-12 rabiul awal : Nabi tiba dimadinah dalam peristiwa hijrah—-

Sahabat Ansor berdiri Menyambut Nabi
Sahabat memukul Rebana dan Syair:
“Thala’al badru ‘alayna – Mintsaniyatil wada’
Wajaba syukru ‘alaina — mada’a lilahi da’i
……….”

Posted in Uncategorized | Leave a Comment »

Imam Asy-syatibi (Penulis Kitab Al-I’tisham) Membungkam Wahhaby

Posted by admin on July 4, 2009

Imam Asy-syatibi (Penulis Kitab Al-I’tisham) Membungkam Wahhaby

al i'tisham cover

Alhamdulillah, cahaya  hidayah mulai menyebar dimuka bumi seiring dengan bangkitnya dakwah ahlusunnah waljamaah. Berbondong-bondong umat mendapatkan hidayah, kedok dantipu daya  musuh-musuh Islam mulai terbuka. Sehingga jelaslah  mana haq dan mana yang batil. Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah kepada kita dan ummat diseluruh alam, serta menjadikannya  asbab hidayah.

Pada Risalah ini akan dibahas mengenai fatwa-fatwa ahlusunnah dalam kitab Al-I’tisham (kitab yang membahas mengenai Bid’ah dan seluk beluknya) karya Imam Asy-syatibi, karena pernyataan-pernyataan dalam kitab ini sering dipalsukan oleh musuh-musuh Islam yang mengaku-ngaku sebagai salafy (Wahhaby). Bagi mereka yang ingin membaca kitab al-I’tisham ini hendaklah membacanya dengan teliti dan hingga tuntas, jangan setengah-setangah. Kitab tarjamah ini, Insya Allah  dapat di Download :

http://www.scribd.com/doc/13441519/Al-iTisham-Imam-Syatibi

Beberapa hal yang akan dibentangkan berasal dari tarjamah kitab al-I’tisham ,diantaranya adalah  :

  • Tassawuf Bukan Bid’ah (Kitab Tarjamah Al-I’tisham, Delik delik tasawwuf, halaman 237 )
  • Mimpi Bertemu Allah atau nabi yang dapat dijadikan acuan untuk beramal (Kitab Tarjamah  Al-I’tisham, halaman 308-310).
  • Kewajiban Bertaqlid kepada imam Mujtahid dan haramnya Ber-ijtihad bagi orang yang bukan Mujtahid (Kitab Tarjamah  Al-I’tisham, Halaman  879- 880)
  • Aqidah Imam Ahlusunnah : Allah ada tanpa tempat dan arah! (dalam kitabnya berjudul Al-Ifadaat Wa Al-Insyadaat pada bilangan 11-Ifadah : Al-Isyarah Lil Baiid Bi Ismi Al-Isyarah Al-Maudhu’ Lil Qorib mukasurat 93-94)

Imam Asy-syatibi (Penulis Kitab Al-I’tisham) Membungkam Wahhaby

  1. Tassawuf Bukan Bid’ah (Kitab Tarjamah Al-I’tisham, Delik delik tasawwuf, halaman 237 )

al i'tisham 237 delik tasawwuf

“3. Delik-delik Tasawuf………………………………………………..237

3. Delik-delikTasawuf
Tasawuf bukan termasuk perkara bid’ah dan bukan pula permasalahan yang dapat dipecahkan dengan dalil secara mutlak, karena perkara ini terbagi-bagi…..dst.” (Kitab Tarjamah Al-I’tisham, Delik delik tasawwuf, halaman 237 ).

Mengenai ajnuran bertasawwuf tanpa meninggalkan syari’at/fiqh juga disebutkan Dalam  Imam Syafii :

فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا * فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح

فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى * وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح

Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya.Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu.

Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mahu mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik?
[Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, Dar el-mareefah, pp. 42]

Download Diwan Asyafii- Dar el-mareefah Beirut 9 (Lihat di page 42) :

 http://www.scribd.com/doc/13455395/Diwan-esSafii-Diwan-Imam-Syafei-Beirut

2. Mimpi Bertemu Allah atau nabi yang dapat dijadikan acuan untuk beramal (Kitab Tarjamah  Al-I’tisham, halaman 308-310).

al i'tisham 309 new ok

“H. Menilai Berdasarkan Maqam (Derajat Kemanusiaan)

Yang paling hebat hujjahnya adalah kaum yang mengambil amal perbuatan hanya bersandar kepada maqam-maqam. Standar mereka untuk menerima atau menolak adalah hal tersebut. Mereka berkata, “Aku melihat si fulan adalah orang shalih.” la lalu berkata kepada kami, “Tinggalkanlah ini… kerjakanlah ini.” Yang seperti ini banyak kecocokan dengan orang-orang yang memakai bentuk tasawuf. Mungkin sebagian mereka berkata, “Aku melihat Nabi SAW dalam tidurku (mimpi), lalu beliau bersabda kepadaku begini…dan memerintahkanku untuk mengerjakan ini…” la mengerjakan dan meninggalkan segala sesuatu karena mimpi itu, tanpa mempedulikan batasan-batasan yang ada dalam syariat, dan itu adalah perbuatan yang salah, karena mimpi dari selain para nabi tidak dapat dijadikan hukum yang sejajar dengan syariat dalam segala kondisi, kecuali bersesuaian dengan hukum-hukum syariat yang ada pada kita. Jika syariat membolehkannya maka ia akan mengerjakannya sesuai dengan tuntutan, dan jika tidak demikian maka tinggalkanlah dan berpalinglah darinya, karena mimpi itu hanya untuk memberi kabar gembira atau peringatan.

Sedangkan memanfaatkan hukum, jelas tidak diperbolehkan, sebagaimana dikisahkan dari Al Kattani, ia berkata, “Aku bermimpi melihat Nabi, dan di dalam mimpi itu aku berkata, ‘Doakanlah aku kepada Allah agar tidak mematikan hatiku. Beliau menjawab, ‘Katakanlah setiap hari sebanyak empat puluh kali kalimat, “Ya hayyu ya qayyum laailaaha ilia anta.” Ini perkataan baik dan tidak ada masalah kebenarannya, karena menurut syariat dzikir memang dapat menghidupkan hati. Faidah mimpi adalah memberitahukan kebaikan, dan ini dari sisi kabar gembira. Dengan demikian, masalah yang tersisa hanya pembicaraan tentang empat puluh kali; apabila tidak ada dalam bentuk kelaziman, maka itu benar.

Diriwayatkan dari Abu Yazid Al Bustami, ia berkata, “Aku ‘melihat’ Tuhanku di dalam mimpi, maka aku berkata, ‘Bagaimana jalan menuju-Mu?’ Allah berfirman, Tinggalkan dirimu dan kemarilah!’”

Perkataan seperti itu ada di dalam syariat, mengerjakan sesuai substansinya adalah benar, karena ia seperti pemberitahuan pada dalil, karena meninggalkan jiwa artinya meninggalkan hawa nafeu secara mutlak dan berdiri pada kaki persembahan. Ada beberapa ayat yang menunjukkan makna ini, antara lain “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).n (Qs. An-Naazi’aat [79]: 40-41)

Seandainya di dalam mimpinya ia melihat orang berkata, “Sesungguhnya si fulan mencuri, maka potonglah tangannya,” atau, “Si fulan orang pandai, maka tanyalah atau kerjakan perintah atau, “Fulan berzina, maka dirikanlah hadd padanyadan sebagainya, maka tidak dibolehkan untuk mengerjakan hal tersebut, sampai ada saksi pada waktu terjaga, dan jika tidak maka ia telah mengerjakannya. tanpa syariat, karena tidak ada wahyu setelah Nabi. Tidak dikatakan, “Mimpi itu bagian dari kenabian,” maka tidak seharusnya hal itu diremehkan, dan orang yang mengabarkan di dalam mimpi bisa jadi Nabi, beliau bersabda,

“Orang yang melihatku dalam tidurnya, berarti ia sungguh telah melihatku, karena syetan tidak dapat menyerupaiku.

Jika demikian, maka pengabarannya dalam mimpi sama seperti pengabaran beliau pada waktu terjaga.

Oleh karena itu, kami mengatakan: Jika mimpi itu bagian dari kenabian, maka itu bukan untuk menyempumakan wahyu kepada kita, tapi hanya bagian dari bagian-bagiannya, dan bagian tidak menempati posisi keseluruhannya dalam segala sisi, tetapi hanya menempati posisinya pada sebagian sisinya, yaitu memberikan sisi kabar gembira dan peringatan, dan itu saja cukup.

Di samping itu, mimpi yang merupakan satu bagian dari bagian kenabian di antara syaratnya adalah kecocokannya untuk orang shalih, dan tercapainya syarat yang perlu ditinjau, sebab hal itu terkadang memenuhi syarat dan terkadang tidak.

Mimpi terbagi menjadi mimpi yang bersumber dari syetan, kepada pembicaraan jiwa, dan terkadang hanya untuk mengacaukan. Lalu, kapan menentukan yang shalih dan kapan harus meninggalkan yang tidak shalih?

Jika mimpi menuntut adanya pembaharuan wahyu dengan hukum setelah Nabi SAW, maka yang demikian itu terlarang secara ijma’. ” (Tarjamah kitab al-I’tisham halaman 308 -310).

3. Kewajiban Bertaqlid kepada imam Mujtahid dan haramnya Ber-ijtihad bagi orang yang bukan Mujtahid (Kitab Tarjamah  Al-I’tisham, page 879- 880)

al i'tisham 879

“Dari hal yang disebutkan tadi, dapat dideskripsikan menjadi dua poin:

1. Hendaknya mengikuti mujtahid, yaitu mereka yang menjadikan syariat sebagai pijakan utama.

2. Hendaknya mengikuti sebagian ulama. Seperti halnya ulama modern yang bertaqlid kepada ulama masa lalu, dengan menukil kitab-kitab mereka dan fikih-fikih madzab mereka. Benar atau tidaknya, dikembalikan pada keabsahan dalil naqli. Dari siapa mereka menukil pendapat dan kesesuaian dengan yang dinukil.

Pembagian kedua ini rentan dengan pertentangan, maka jangan memaksa mereka untuk berijtihad dengan meng-istimbat sebuah hukum, sebab tidak ada kemampuan ke arah sana.

Ijtihad yang dikemukakan mereka tidaklah sah. Jika memaksakan untuk tetap berijtihad, maka poerbuatannya itu salah dan berdosa, walaupun ijtihadnya benar atau tidak sama sekali, karena ia bukan ahlinya. Hal itu dapat mencemarkan posisi mujtahid, sebab ia mengambil keputusan atas perkara yang tidak ia ketahui. Dengan demikian, tidak dibenarkan untuk mengikuti jalan ijtihadnya. Semua sepakat bahwa proses ijtihad tersebut tidak mu’tabar, perbedaannya secara umum dianggap tiada, dan perbedaannya dengan ulama adalah dosa. Jadi, bagaimana mungkin bisa sah —ketetapan— mengikuti yang bukan mujtahid dalam hal ijtihad?

Ingat! Suatu kaum yang keluar dari tuntunan sahabat dan tabi’in —karena bertentangan dengan dalil dan pedoman para ulama— akan benar-benar tersesat. Mereka juga mengikuti hawa nafsu perasaannya, tanpa dilandasi ilmu, maka mereka akan tersesat pula dari kebenaran.” (Kitab Tarjamah  Al-I’tisham, page 879- 880).

4. Aqidah Imam Ahlusunnah : Allah ada tanpa tempat dan arah!

Ketahuilah bahawa Syeikh As-Syatiby ( Abu ishak Ibrahim Bin Musa As-Syatiby wafat 790) yang antara karangannya kitab Al-I’tisom dan Al-Ifaadaat Wa Al-Insyaadaat merupakan seorang ulama yang berpegang dengan akidah islam dalam manhaj Ahli Sunnah Waljamaah mengikut method Al-Asya’iroh dan Al-Maturidiyah. Ini amat jelas seperti yang dinyatakan oleh beliau sendiri dalam kitab Al-I’tisom yang ‘dikambinghitamkan’ oleh Wahhabi dalam penjelasan Bid’ah. Sememangnya perangai Wahhabi sebegini, mereka mempergunakan kenyataan ulama yang mereka sendiri kafirkannya pula. Subhanallah.

Antara kejelasan akidah Syeikh As-Syatiby ini adalah seperti yang dijelaskan dalam kitabnya berjudul Al-Ifadaat Wa Al-Insyadaat pada bilangan 11-Ifadah : Al-Isyarah Lil Baiid Bi Ismi Al-Isyarah Al-Maudhu’ Lil Qorib mukasurat 93-94 nasnya:

إفادة

سألني الشيخ الاستاذ الكبير الشهير أبو سعيد فرج بن قاسم بن لُب التغلبي أدام الله أيامه عن قول ابن مالك في “تسهيل الفوائد” في باب اسم الإشارة :”وقد يغني ذو البعد عن ذي القرب لعظمة المشير أو المشار إليه”، فقال: إن المؤلف مثَّل عظمة المشير في الشرح بقوله تعالى:{وما تلك بيمينك يا موسى} [سورة طه/17] ولم يبين ما وجه ذلك، فما وجهه؟ ففكرت فلم أجد جوابًا. فقال: وجهه أن الإشارة بذي القرب ههنا قد يُتوهم فيها القرب بالمكان، والله تعالى يتقدس عن ذلك، فلما أشار بذي البعد أعطى بمعناه أن المشير مباين للأمكنة، وبعيد عن أن يُوصف بالقرب المكاني، فأتى البعدُ في الإشارة منبهًا على بُعدِ نسبة المكان عن الذات العلي وأنه يبعد أن يحلَّ في مكان أو يدانيه

(Rujuk: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?s=&threadid=13646 )

Saya terjemahkan sebahagian nukilan As-Syatiby dalam perguruannya bersama As-Syeikh Al-Ustaz Al-Kabir Abu Saiid dan As-Syatiby menghukum serta menganggap ianya adalah antara faedah-faedah ilmu yang agong ( إفادة )

1- هاهنا قد يتوهم فيها القرب بالمكان، والله تعالى يتقدس عن ذلك

Terjemahannya: “Disini mungkin tersangka satu sangkaan yang tidak benar(waham) kedekatan Allah dengan bertempat sedangkan Allah ta’aala mahasuci dari sedemikian (bertempat)”.

Saya menyatakan:

Ini merupakan diantara persetujuan As-Syatiby berkaitan akidah yang benar ‘Allah Tidak Dilingkungi Oleh Tempat’ selain beliau beraliran Asya’irah dalam akidah (seperti juga termaktub dalam kitabnya Al-i’tisom yang tidak berpegang zohir ayat mutasyabihaat).

Malangnya pula Wahhabi mengkafirkan atau kekadang itu hanya menghukum sesat sahaja terhadap golongan Al-Asyairoh. maka apakah mereka katakan pada As-Syatiby ini?! kafir??! sesat?!!atau salah akidah??!

2: في الإشارة منبهاً على بعد نسبة المكان عن الذات العلية، وأنه يبعد أن يحل في مكان أو يدانيه

Terjemahannya: “Padanya isyarah menunjukkan tidak menyandarkan tempat bagi Allah zat yang maha agong, dan sesungguhnya mahasuci Allah dari diliputi oleh tempat atau bersentuhan dengan tempat”.

Saya menyatakan: Ini merupakan satu perkara yang dianggap faedah besar disisi Syeikh As-Syatiby sehingga beliau meletakkan dalam Ifadahnya.

Saya nasihatkan kepada Wahhabi, kuncu-kuncu yahudi dan sesiapa sahaja yang mempergunakan penerangan As-Syatiby agar mengambil juga keterangan akidah oleh beliau seperti di atas dan jangan mengkafirkan akidah benar tersebut atau menyesatkannya.

Sesungguhnya Allah Maha suci dari bertempat dan tidak bersifat duduk.

Wallahu ‘alam.

http://salafytobat.wordpress.com

http://abu-syafiq.blogspot.com

Posted in Imam Asy-syatibi (Penulis Kitab Al-I’tisham) Membungkam Wahhaby | Tagged: | Leave a Comment »

‘ Bukti Ibnu Taymiyah dan Al-Bany Taubat Dari Aqidah Sesat

Posted by admin on June 18, 2009

1. (MESTI BACA) Ibnu Taimiah Bertaubat Dari Akidah Salah

Oleh: abu_syafiq As-Salafy (012-2850578)
Assalamu3alaykum
Ramai yang tidak mengkaji sejarah dan hanya menerima pendapat Ibnu Taimiah sekadar dari bacaan kitabnya sahaja tanpa merangkumkan fakta sejarah dan kebenaran dengan telus dan ikhlas.
Dari sebab itu mereka (seperti Wahhabiyah) sekadar berpegang dengan akidah salah yang termaktub dalam tulisan Ibnu Taimiah khususnya dalam permasaalahan usul akidah berkaitan kewujudan Allah dan pemahaman ayat ” Ar-Rahman ^alal Arasy Istawa”.
Dalam masa yang sama mereka jahil tentang khabar dan berita sebenar berdasarkan sejarah yang diakui oleh ulama dizaman atau yang lebih hampir dengan Ibnu Taimiah yang sudah pasti lebih mengenali Ibnu Taimiah daripada kita dan Wahhabiyah. Dengan kajian ini dapatlah kita memahami bahawa sebenarnya akidah Wahhabiyah antaranya :
1-Allah duduk di atas kursi.
2-Allah duduk dan berada di atas arasy.
3-Tempat bagi Allah adalah di atas arasy.
4-Berpegang dengan zohir(duduk) pada ayat “Ar-Rahman ^alal Arasy Istawa”.
5-Allah berada di langit.
6-Allah berada di tempat atas.
7-Allah bercakap dengan suara.
8-Allah turun naik dari tempat ke tempat dan selainnya daripada akidah kufur sebenarnya Ibnu Taimiah telah bertaubat daripada akidah sesat tersebut dengan mengucap dua kalimah syahadah serta mengaku sebagai pengikut Asyairah dengan katanya:
“saya golongan Asy’ary”.
(Malangnya Wahhabi mengkafirkan golongan Asyairah, lihat buktinya :http://abu-syafiq.blogspot.com/2007/05/hobi-wahhabi-kafirkan-umat-islam.html).

Syeikhul Islam Imam Al-Hafiz As-Syeikh Ibnu Hajar Al-Asqolany yang hebat dalam ilmu hadith dan merupakan ulama hadith yang siqah dan pakar dalam segala ilmu hadith dan merupakan pengarang kitab syarah kepada Sohih Bukhari berjudul Fathul Bari beliau telah menyatakan kisah taubat Ibnu taimiah ini serta tidak menafikan kesahihannya dan ianya diakui olehnya sendiri dalam kitab beliau berjudul Ad-Durar Al-Kaminah Fi ‘ayan Al-Miaah As-Saminah yang disahihkan kewujudan kitabnya oleh ulama-ulama Wahhabi juga termasuk kanak-kanak Wahhabi di Malaysia ( Mohd Asri Zainul Abidin).
Kenyatan bertaubatnya Ibnu Taimiah dari akidah sesat tersebut juga telah dinyatakan oleh seorang ulama sezaman dengan Ibnu Taimiah iaitu Imam As-Syeikh Syihabud Din An-Nuwairy wafat 733H.
Ini penjelasannya :
Berkata Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany dalam kitabnya berjudul :
Ad-Durar Al-Kaminah Fi “ayan Al-Miaah As-Saminah
cetakan 1414H Dar Al-Jiel
juzuk 1 m/s 148
dan Imam As-Syeikh Syihabuddin An-Nuwairy wafat 733H :
cetakan Dar Al-Kutub Al-Misriyyah
juzuk 32 m/s 115-116
dalam kitab berjudul Nihayah Al-Arab Fi Funun Al-Adab nasnya:
أما تقي الدين فإنه استمر في الجب بقلعة الجبل
إلى أن وصل الأمير حسام الدين مهنا إلى الأبواب السلطانية في شهر ربيع الأول سنة سبع وسبعمائة ، فسأل السلطان في أمره وشفع فيه ، فأمر بإخراجه ، فأخرج في يوم الجمعة الثالث والعشرين من الشهر وأحضر إلى دار النيابة بقلعة الجبل ، وحصل بحث مع الفقهاء ، ثم اجتمع جماعة من أعيان العلماء ولم تحضره القضاة ، وذلك لمرض قاضي القضاة زين الدين المالكي ، ولم يحضر غيره من القضاة ، وحصل البحث ، وكتب خطه ووقع الإشهاد عليه وكتب بصورة المجلس مكتوب مضمونه : بسم الله الرحمن الرحيم شهد من يضع خطه آخره أنه لما عقد مجلس لتقي الدين أحمد بن تيمية الحراني الحنبلي بحضرة المقر الأشرف العالي المولوي الأميري الكبيري العالمي العادلي السيفي ملك الأمراء سلار الملكي الناصري نائب السلطنة المعظمة أسبغ الله ظله ، وحضر فيه جماعة من السادة العلماء الفضلاء أهل الفتيا بالديار المصرية بسبب ما نقل عنه ووجد بخطه الذي عرف به قبل ذلك من الأمور المتعلقة باعتقاده أن الله تعالى يتكلم بصوت ، وأن الاستواء على حقيقته ، وغير ذلك مما هو مخالف لأهل الحق ، انتهى المجلس بعد أن جرت فيه مباحث معه ليرجع عن اعتقاده في ذلك ، إلى أن قال بحضرة شهود : ( أنا أشعري ) ورفع كتاب الأشعرية على رأسه ، وأشهد عليه بما كتب خطا وصورته : (( الحمد لله ، الذي أعتقده أن القرآن معنى قائم بذات الله ، وهو صفة من صفات ذاته القديمة الأزلية ، وهو غير مخلوق ، وليس بحرف ولا صوت ، كتبه أحمد بن تيمية . والذي أعتقده من قوله : ( الرحمن على العرش استوى ) أنه على ما قاله الجماعة ، أنه ليس على حقيقته وظاهره ، ولا أعلم كنه المراد منه ، بل لا يعلم ذلك إلا الله تعالى ، كتبه أحمد بن تيمية . والقول في النزول كالقول في الاستواء ، أقول فيه ما أقول فيه ، ولا أعلم كنه المراد به بل لا يعلم ذلك إلا الله تعالى ، وليس على حقيقته وظاهره ، كتبه أحمد بن تيمية ، وذلك في يوم الأحد خامس عشرين شهر ربيع الأول سنة سبع وسبعمائة )) هذا صورة ما كتبه بخطه ، وأشهد عليه أيضا أنه تاب إلى الله تعالى مما ينافي هذا الاعتقاد في المسائل الأربع المذكورة بخطه ، وتلفظ بالشهادتين المعظمتين ، وأشهد عليه بالطواعية والاختيار في ذلك كله بقلعة الجبل المحروسة من الديار المصرية حرسها الله تعالى بتاريخ يوم الأحد الخامس والعشرين من شهر ربيع الأول سنة سبع وسبعمائة ، وشهد عليه في هذا المحضر جماعة من الأعيان المقنتين والعدول ، وأفرج عنه واستقر بالقاهرة
Saya terjemahkan beberapa yang penting dari nas dan kenyataan tersebut: 1- ووجد بخطه الذي عرف به قبل ذلك من الأمور المتعلقة باعتقاده أن الله تعالى يتكلم بصوت ، وأن الاستواء على حقيقته ، وغير ذلك مما هو مخالف لأهل الحق
Terjemahannya: “Dan para ulama telah mendapati skrip yang telah ditulis oleh Ibnu Taimiah yang telahpun diakui akannya sebelum itu (akidah salah ibnu taimiah sebelum bertaubat) berkaitan dengan akidahnya bahawa Allah ta’ala berkata-kata dengan suara, dan Allah beristawa dengan erti yang hakiki (iaitu duduk) dan selain itu yang bertentangan dengan Ahl Haq (kebenaran)”.
Saya mengatakan : Ini adalah bukti dari para ulama islam di zaman Ibnu Taimiah bahawa dia berpegang dengan akidah yang salah sebelum bertaubat daripadanya antaranya Allah beristawa secara hakiki iaitu duduk.
Golongan Wahhabiyah sehingga ke hari ini masih berakidah dengan akidah yang salah ini iaitu menganggap bahawa Istiwa Allah adalah hakiki termasuk Mohd Asri Zainul Abidin yang mengatakan istawa bermakna duduk cuma bagaimana bentuknya bagi Allah kita tak tahu. lihat dan dengar sendiri Asri sandarkan DUDUK bagi Allah di : http://abu-syafiq.blogspot.com/2007/06/asri-menghidupkan-akidah-yahudi-allah.html .
Sedangkan ibnu Taimiah telah bertaubat dari akidah tersebut.
2- قال بحضرة شهود : ( أنا أشعري ) ورفع كتاب الأشعرية على رأسه
Terjemahannya: ” Telah berkata Ibnu Taimiah dengan kehadiran saksi para ulama: ‘ Saya golongan Asy’ary’ dan mengangkat kitab Al-Asy’ariyah di atas kepalanya ( mengakuinya)”.
Saya mengatakan :
Kepada Wahhabi yang mengkafirkan atau menghukum sesat terhadap Asya’irah, apakah mereka menghukum sesat juga terhadap Syeikhul islam mereka sendiri ini?! Siapa lagi yang tinggal sebagai islam selepas syeikhul islam kamu pun kamu kafirkan dan sesatkan?! Ibnu Taimiah mengaku sebagai golongan Asy’ary malangnya Wahhabi mengkafirkan golongan Asya’ry pula, rujuk bukti Wahhabi kafirkan golongan As’y’ary :http://abu-syafiq.blogspot.com/2007/05/hobi-wahhabi-kafirkan-umat-islam.html.
3- والذي أعتقده من قوله : ( الرحمن على العرش استوى ) أنه على ما قاله الجماعة ، أنه ليس على حقيقته وظاهره ، ولا أعلم كنه المراد منه ، بل لا يعلم ذلك إلا الله تعالى ، كتبه أحمد بن تيمية
Terjemahan khot tulisan Ibnu Taimiah dihadapan para ulama islam ketika itu dan mereka semua menjadi saksi kenyataan Ibnu Taimiah : ” Dan yang aku berpegang mengenai firman Allah ‘Ar-Rahman diatas Arasy istawa’ adalah sepertimana berpegangnya jemaah ulama islam, sesungguhnya ayat tersebut bukan bererti hakikatnya(duduk) dan bukan atas zohirnya dan aku tidak mengetahui maksud sebenar-benarnya dari ayat tersebut bahkan tidak diketahui makna sebenr-benarnya dari ayat tersebut kecuali Allah.Telah menulis perkara ini oleh Ahmad Ibnu Taimiah”.
Saya mengatakan:
Ibnu Taimiah telah bertaubat dan mengatakan ayat tersebut bukan atas zohirnya dan bukan atas hakikinya iaitu bukan bererti Allah duduk mahupun bertempat atas arash.
( Bukti Ibnu Taimiah pernah dahulunya berpegang dengan akidah salah: ‘Allah Duduk’
Malangnya kesemua tok guru Wahhabi sehingga sekarang termasuk Al-Bani, Soleh Uthaimien, Bin Baz dan kesemuanya berpegang ayat tersebut secara zohirnya dan hakikatnya (duduk dan bertempat atas arasy). Lihat saja buku-buku mereka jelas menyatakan sedemikian. Maka siapakah syeikhul islam sekarang ini disisi Wahhabiyah atau adakah syeikhul islam anda wahai Wahhabi telah kafir disebabkan taubatnya?!
4- وأشهد عليه أيضا أنه تاب إلى الله تعالى مما ينافي هذا الاعتقاد في المسائل الأربع المذكورة بخطه ، وتلفظ بالشهادتين المعظمتين
Terjemahannya berkata Imam Nuwairy seperti yang dinyatakan juga oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany : ” Dan aku antara saksi bahawa Ibnu Taimiah telah bertaubat kepada Allah daripada akidah yang salah pada empat masaalah akidah yang telah dinyatakan, dan Ibnu Taimiah telah mengucap dua kalimah syahadah(bertaubat daripada akidah yang salah pernah dia pegangi terdahulu)”.
Saya mengatakan:
Ibnu Taimiah telah memeluk islam kembali dengan mengucap dua kalimah syahadah dan mengiktiraf akidahnya sebelum itu adalah salah dan kini akidah yang salahnya itu pula dipegang oleh golongan Wahhabiyah.
Maka bilakah pula golongan Wahhabiyah yang berpegang dengan akidah yang salah tersebut akan memluk agama islam semula seperti yang dilakukan oleh rujukan utama mereka yang mereka sendiri namakan sebagai Syeikhul Islam?!.
Jadikan qudwah dan ikutan Ibnu Taimiah dalam hal ini wahai Wahhabiyah!.
Ayuh! bertaubatlah sesungguhnya kebenaran itu lebih tinggi dari segala kebatilan. Pintu taubat masih terbuka bagi Wahhabi yang belum dicabut nyawa.
ULAMA-ULAMA YANG MENYATAKAN DAN MENYAKSIKAN KISAH TAUBATNYA IBNU TAIMIAH.
Selain Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany dalam kitabnya berjudul Ad-Durar Al-Kaminah Fi “ayan Al-Miaah As-Saminah cetakan 1414H Dar Al-Jiel juzuk 1 m/s 148
dan Imam As-Syeikh Syihabuddin An-Nuwairy wafat 733H cetakan Dar Al-Kutub Al-Misriyyah juzuk 32 m/s 115-116 dalam kitab berjudul Nihayah Al-Arab Fi Funun Al-Adab yang menyatakan kisah taubat Ibnu Taimiah ramai lagi ulama islam yang menyaksikan dan menceritakan kisah pengakuan tersebut antaranya lagi :
-As-Syeikh Ibnu Al-Mu’allim wafat tahun 725H dalam kitab Najmul Muhtadi Wa Rojmul Mu’tadi cetakan Paris nom 638.
-As-Syeikh Ad-Dawadai wafat selepas 736H dalam kitab Kanzu Ad-Durar – Al0Jam’-239.
-As-Syeikh Taghry Bardy Al-Hanafi bermazhab Hanafiyah wafat 874H dalam Al-Minha As-Sofi m/s576 dan beliau juga menyatakn sepertimana yang dinyatakan nasnya oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany dalam kitabnya yang lain berjudul An-Nujum Az-Zahirah Al-Jami’ 580.
Merekalah dan selain mereka telah menyatakan taubat Ibnu Taimiah daripada akidah Allah Duduk dan bertempat di atas arasy.
Kata-kata akhirku dalam penerangan kajian ringkas berfakta ini..
Wahai Wahhabiyah yang berakidah Allah Duduk di atas arasy. Itu adalah akidah kristian kafir dan yahudi laknat (Rujuk bukti :http://abu-syafiq.blogspot.com/2007/05/penjelasan1-allah-duduk-atas-arasy.html . Berpeganglah dengan akidah salaf sebenar dan khalaf serta akidah ahli hadith yang di namakan sebagai akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah iaitu Allah tidak memerlukan kepada mana-mana makhlukNya termasuk tempat dilangit mahupun tempat di atas arasy. Semoga Allah merahmati hambaNya yang benar-benar mencari kebenaran. Wassalam.
* Saya mengharap komen diberikan atas artikel ini dengan syarat mestilah berfakta yang telus dan ilmiah bukan melulu dan bersemborono khususnya kepada mereka yang mengatakan ianya palsu.

Daurah masyayikh salafy timur tengah, Daurah kitab albany, Daurah daurah salafy/wahaby saudy

Syaikh nashiruddin albany, yang sering membuat fatwa-fatwa heboh dan menyesatkan ahirnya taubat sebelum matinya……disalah satu kitab terakhirnya (ia mentkhrij kitab imam adzahabi alasy’ary) albany akhirnya mengakui aqidah ahlusunnah walja’maah (Allah ada tanpa tempat dan arah) berbeda dgn fatwa-fatwa sebelumnya……mari kita lihat bukti kitab nya!!!

Maka salafy/wahaby pun ramai-ramai mengkafirkannnya!!, …..jamaah takfir akhirnya salang mengkafirkan sesamanya sendiri….na’dzubillah…

ALBANI & AZ-ZAHABI KATA: AKIDAH ISLAM ADALAH “ALLAH WUJUD TANPA BERTEMPAT” & ALLAH TIDAK BERSEMAYAM/DUDUK ATAS ARASY.
Oleh: Abu Syafiq ( Hp: 006-012-2850578 )
Sememang kebenaran akidah Islam tidak dapat ditolak oleh golongan munafiq mahupun kafir Mujassim. Ini kerana burhan dan adillah (hujjah dan dalil) yang terbit dari sumber yang mulia iaitu Al-Quran dan Hadith tiada secebis pun keraguan manakan pula kebatilan. Antara akidah Islam adalah “ Allah Wujud Tanpa Bertempat” dan inilah antara yang Ahlu Sunnah Wal Jama’ah war-warkan bagi memberi kefahaman yang tepat dalam perbincangan akidah Islam dalam mentauhidkan diri kepada Allah. WAHHABI MALAYSIA KAFIRKAN ALBANI & AZ-ZAHABI Kesemua Wahhabi di Malaysia berakidah dengan akidah yang tidak menepati Al-Quran dan Hadith Nabawi.
Ini amat jelas dengan hujjah yang telah saya ( Abu Syafiq ) kemukakan sebelum2 ini berlandaskan ayat2 Allah dan sabda Nabi Muhammad berkonsepkan kaedah ulama Salaf dan Khalaf tulen. Semua Wahhabi di Malaysia yang berakidah Allah Bertempat telah menghukum kafir terhadap umat Islam yang berakidah benar Allah Wujud Tanpa Bertempat. Pada masa yang sama Wahhabi di Malaysia alpa akan akidah tok guru mereka sendiri Nasiruddin Al-Bany dan rujukan utama mereka Al-Hafiz Az-Zahaby yang juga berakidah Allah Wujud Tanpa Bertempat, malangnya Wahhabi mengkafirkan sesiapa yang berakidah sedemikian. Ini amat jelas semua Wahhabi di Malaysia bukan hanya mengkafirkan umat Islam bahkan turut mengkafirkan tok guru dan rujukan utama mereka sendiri iaitu Al-Bani dan Az-Zahabi.
Silakan pembaca rujuk teks kenyataan Allah Wujud Tanpa Bertempat Dan Tanpa Berarah oleh Al-Bani & Az-Zahabi :
Kitab: Mukhtasor ‘Ulu Li ‘Aliyyil ‘Azhim.
Pengarang: Syamsuddin Az-Zahabi.
Pentahkik: Nasiruddin Al-Bani. Cetakan: Maktab Islami.
Mukasurat: 71.
Kenyataan teks Al-Bani bersumber kitab di atas :
“ Apabila kamu telah mendalami perkara tersebut, denganizin Allah kamu akan faham ayat-ayat Al-Quran dan Hadith Nabai serta kenyataan para ulama Salaf yang telah dinyatakan oleh Az-Zahabi dalam kitabnya ini Mukhtasor bahawa erti dan maksud sebalik itu semua adalah makna yang thabit bagi Allah iaitu ketinggian Allah pada makhluk-makhlukNya ( bukan ketinggian tempat), istawanya Allah atas arasyNya layak bagi keagonganNya dan Allah tidak ber arah dan Allah tidak bertempat”. (Sila rujuk kitab tersebut yang telah di scan di atas).
Saya menyatakan: Al-Bani telah nukilan lafaz akidah yang benar walaupun ulama Islam telah maklum bahawa golongan Mujassimah dan Tabdi’ ini pada hakikatnya akidah mereka sering berbolak balik. Albani pun mengatakan Allah tidak bertempat tetapi Wahhabi di Malaysia pula berakidah Allah itu bertempat bahkan mereka mengkafirkan pula sesiapa yang percaya Allah wujud tanpa bertempat. Kenyatan Al-Bani menafikan tempat bagi Allah adalah secara mutlak dan tidak disebut tempat yang makhluk atau tidak dan ini juga adalah bukti Al-Bani dan Az-Zahabi menafikan Allah Bersemayam/Duduk Atas Arasy. Sememangnya Al-Bani dan Az-Zahabi sering menolak akidah Allah Bersemayam/Duduk Atas ‘Arasy. Soalan saya kepada Wahhabi..mengapa kamu mengkafirkan Muhaddith kamu ini? Adakah Syeikh Islam kamu, ulama kamu dan Muftary kamu termasuk Albani ini adalah kafir kerana berakidah Allah Tidak Bertempat?
Sekiranya TIDAK maka mengapa kamu bawa akidah palsu dan sekiranya YA maka kamu semua adalah NAJIS SYAITON!. Wahai pembaca yang berakal dan budiman…. – Albani berakidah “ Allah Wujud Tanpa Bertempat dan Tidak Ber Arah ” tetapi Wahhabi Malaysia kafirkan akidah tersebut. – Hafiz Az-Zahabyi berakidah “ Allah Wujud Tanpa Bertempat dan Tanpa Ber Arah ” tetapi Wahhabi Malaysia kafirkan akidah tersebut bahkan Wahhabi berakidah Allah bertempat. Sila rujuk bukti: http://abu-syafiq.blogspot.com/2007/12/buku-wahhabi-yang-tersebar-di-seluruh.html
Nah..! Dimanakah hendak dikategorikan golongan Wahhabi ini? Jamban,mangkuk, tandas? atau di tanah perkuburan yang hanya disemadikan dalamnya ahli-ahli Mujassimah pengkhianat amanah?!. Apapun saya doakan hidayah keimanan diberikan oleh Allah kepada Wahhabi yang masih hidup. Wassalam. http://www.abu-syafiq.blogspot.com ________________________________
KITAB-KITAB IMAM ADZAHABY SERING DIJADIKAN RUJUKAN-RUJUKAN PALSU OLEH WAHABY TAPI KALAU KITA LIHAT KITAB ASLINYA, AKAN LAIN JADINYA…. LIHAT KITAB ASLI IMAM ADZAHABY YANG BELUM DITAKHRIJ OLEH ALBANY :

AL-HAFIZ AZ-ZAHABI KAFIRKAN AKIDAH: ALLAH DUDUK

AL-HAFIZ AZ-ZAHABI KAFIRKAN AKIDAH: ALLAH BERSEMAYAM/DUDUK

Oleh: Abu Syafiq ( Tel HP 006-012-2850578)

*Bersemayam yang bererti Duduk adalah sifat yang tidak layak bagi Allah dan Allah tidak pernah menyatakan demikian, begitu juga NabiNya. ___________________________________________________________________________

Hakikat kebenaran tetap akan terserlah walaupun lidah syaitan Wahhabi cuba merubahnya. Kali ini dipaparkan bagaimana rujukan utama Wahhabi iaitu Al-Hafiz Az-Zahabi sendiri mnghukum kafir akidah sesat: Allah Bersemayam/Duduk yang dipelopori oleh Wahhabi pada zaman kini. Az-Zahabi adalah Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Uthman bin Qaymaz bin Abdullah ( 673-748H ). Pengarang kitab Siyar An-Nubala’ dan kitab-kitab lain termasuk Al-Kabair.

Az-Zahabi mengkafirkan akidah Allah Duduk sepertimana yang telah dinyatakan olehnya sendiri di dalam kitabnya berjudul Kitab Al-Kabair. Demikian teks Az-Zahabi kafirkan akidah “ Allah Bersemayam/Duduk” : ( RUJUK SCAN KITAB TERSEBUT DI ATAS )

Nama kitab: Al-Kabair.

Pengarang: Al-Hafiz Az-Zahabi.

Cetakan: Muassasah Al-Kitab Athaqofah,

cetakan pertama 1410h.

Terjemahan.:

Berkata Al-Hafiz Az-Zahabi: “Faidah, perkataan manusia yang dihukum kufur jelas terkeluar dari Islam oleh para ulama adalah: …sekiranya seseorang itu menyatakan: Allah Duduk untuk menetap atau katanya Allah Berdiri untuk menetap maka dia telah jatuh KAFIR”.

Rujuk scan kitab tersebut di atas m/s 142. Perhatikan bagaimana Az-Zahabi menghukum kafir sesiapa yang mendakwa Allah bersifat Duduk. Sesiapa yang mengatakan Allah Duduk maka dia kafir. Fokuskan pada kenyataan Az-Zahhabi tidak pula mengatakan “sekiranya seseorang itu kata Allah Duduk seperti makhlukNya maka barulah dia kafir” akan tetapi amat jelas Az-Zahabi terus menghukum kafir kepada sesiapa yang mendakwa Allah Duduk disamping Az-Zahabi menukilkan hukum tersebut dari seluruh ulama Islam.

Wahai Mohd Asri Zainul Abidin dan Wahhabi yang lain…ketahuilah apabila anda semua mengatakan Allah Duduk merupakan kekufuran yang telah dihukum oleh Az-Zahabi sendiri dan ulama Islam. Tidak perlu ditunggu kenyataan “ Allah Duduk Seperti MakhlukNya” baru nak dihukum kafir akan tetapi dengan mengatakan Allah Duduk maka ia merupakan perkataan kufur terkeluar dari Islam sepertimana yang dinyatakan oleh Al-Hafiz Az-Zahabi. Bertaubatlah wahai Wahhabi. http://www.abu-syafiq.blogspot.com http://abu-syafiq.blogspot.com/2007/11/al-hafiz-az-zahabi-kafirkan-akidah.html

3.  Imam 4 madzab kafirkan Aqidah Mujasimmah (Tuhan Bertempat/duduk)

. Hujjah Imam Abu Hanifah yg beliau tulis dalam kitab wasiat nya :



( DIATAS ADALAH KENYATAAN IMAM ABU HANIFAH DALAM KITAB WASIAT BELIAU PERIHAL ISTAWA )

IMAM ABU HANIFAH TOLAK AKIDAH SESAT “ ALLAH BERSEMAYAM/DUDUK/BERTEMPAT ATAS ARASY.
Demikian dibawah ini teks terjemahan nas Imam Abu Hanifah dalam hal tersebut ( Rujuk kitab asal sepertimana yang telah di scan di atas) :

“ Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’al ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”. Tamat terjemahan daripada kenyatan Imam Abu Hanifah dari kitab Wasiat beliau.

Amat jelas di atas bahawa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat bersemayam(duduk) Allah di atas Arasy.

Semoga Mujassimah diberi hidayah sebelum mati dengan mengucap dua kalimah syahadah kembali kepada Islam.

Posted in 1. (MESTI BACA) Ibnu Taimiah Bertaubat Dari Akidah Salah, 2. Albany Mengakui akidah : ALLAH WUJUD TANPA TEMPAT ” & TOLAK AKIDAH “ALLAH BERSEMAYAM/DUDUK ATAS ‘ARASY”, 3. Imam 4 madzab kafirkan Aqidah Mujasimmah (Tuhan Bertempat/duduk), AL-HAFIZ AZ-ZAHABI KAFIRKAN AKIDAH: ALLAH DUDUK, · Majalah Asy Syariah · Salafy Indonesia · Mimbar Islami · Audio Salaf · Google Salaf Engine · Ahlussunnah-jakarta · Salafy Riau · Assunnah makassar · Ma'had Assa, · Salafi · Salafi Talk · Salafi Publication · Salafi Cast · Fatwa Islam · Salaf · Fatwa Online · AlQur'an Online · Islam For Kids · Islamic Knowledge, · Syaikh Ibn Baz · Syaikh Muqbil · Syaikh Rabi' Ibn Hadi · Syaikh Al-Albani · Syaikh Ibn Utsaimin · Syaikh Al-Fauzan · Syaikh An-Najmi · Syaikh Al-Bura'i · S, Bukti Ibnu Taymiyah dan Al-Bany Taubat Dari Aqidah Sesat, DIY (05-Sep-2007) * Wonosobo (10-Mar-2009), Gunung Kidul, Kajian Salafi * Aceh (08-Mar-2009) * Ambon (08-May-2008) * Balikpapan (05-Mar-2009) * Bandar Lampung (31-May-2007) * Bandung (02-Jun-2009) * Banjar Baru (13-Nov-2006) * Ba, Kategori Artikel Aqidah (160) Manhaj (97) Hadits (81) Fiqih (179) Nasehat (127) Muslimah (72) Fatwa Ulama (217) Jadwal Kajian Salafi (86) Tasjilat Salafiyah (11) Mengapa Salaf (19) Hizbiyyah/Aliran (7, Mailing List Salafi · Salafi Indonesia · Artikel Salafy · thullabul-ilmiy Web Promo · Assunnah · Assunnah · Assunnah · Salafy Indonesia · Salafi Indonesia · Sunn, Nasihat Syaikh Rabi' Kepada Salafiyyin di Yaman dan selainnya, P.Siantar (12-Sep-2006) * Sidoarjo (11-Jul-2007) * Solo (03-May-2007) * Sorong (10-Jun-2006) * Sukabumi (07-Dec-2006) * Surabaya (15/7/08) (12-Jul-2008) * Tangerang (03-Mar-200, Paser Utara (14-Apr-2006) * Pontianak (10-Jun-2007) * Probolinggo (17-Feb-2008) * Purwokerto (17-Jul-2008) * Purworejo (15-Mar-2007) * Samarinda (21-Oct-2008) * Sangatta-Kutim, Purwokerto (07-Jun-2006) * Daurah Bahasa Arab Intensif di Ngawi (20-May-2009) * Daurah Bahasa Arab Program 1 (satu) bulan (19-Jan-2009) * Daurah Ilmiah bersama Masyayikh di Bantul (25-27/7, Sumut (12-Sep-2006) * Madiun (05-Feb-2009) * Magelang (22-Sep-2006) * Majalengka (12-Sep-2006) * Makassar (26-Jan-2007) * Malang (24-Apr-2009) * Malaysia (25-Dec-2008) * Ma, Tapteng, Tegal | Tagged: , , , , , | 1 Comment »

Sampainya Hadiah Bacaan Al-qur’an untuk mayyit (Orang Mati)

Posted by admin on June 18, 2009

Sampainya Hadiah Bacaan Al-qur’an untuk mayyit (Orang Mati)

A. Dalil-dalil Hadiah Pahala Bacaan

1. Hadits tentang wasiat ibnu umar tersebut dalam syarah aqidah Thahawiyah Hal :458 :

“ Dari ibnu umar Ra. : “Bahwasanya Beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan awa-awal surat albaqarah dan akhirnya. Dan dari sebagian muhajirin dinukil juga adanya pembacaan surat albaqarah”

Hadits ini menjadi pegangan Imam Ahmad, padaha imam Ahmad ini sebelumnya termasuk orang yang mengingkari sampainya pahala dari orang hidup kepada orang yang sudah mati, namun setelah mendengar dari orang-orang kepercayaan tentang wasiat ibnu umar tersebut, beliau mencabut pengingkarannya itu. (mukhtasar tadzkirah qurtubi halaman 25).

Oleh karena itulah, maka ada riwayat dari imam Ahmad bin Hnbal bahwa beliau berkata : “ Sampai kepada mayyit (pahala) tiap-tiap kebajikan karena ada nash-nash yang dating padanya dan juga karena kaum muslimin (zaman tabi’in dan tabiuttabi’in) pada berkumpul disetiap negeri, mereka membaca al-qur’an dan menghadiahkan (pahalanya) kepada mereka yang sudah meninggal, maka jadialah ia ijma . (Yasaluunaka fid din wal hayat oleh syaikh DR Ahmad syarbasy Jilid III/423).

2. Hadits dalam sunan Baihaqi danan isnad Hasan

“ Bahwasanya Ibnu umar menyukai agar dibaca keatas pekuburan sesudah pemakaman awal surat albaqarah dan akhirnya”

Hadits ini agak semakna dengan hadits pertama, hanya yang pertama itu adalah wasiat seadangkan ini adalah pernyataan bahwa beliau menyukai hal tersebut.

3. Hadits Riwayat darulqutni

“Barangsiapa masuk kepekuburan lalu membaca qulhuwallahu ahad (surat al ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati (dipekuburan itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang mati disitu”.

4. Hadits marfu’ Riwayat Hafidz as-salafi

“ Barangsiapa melewati pekuburan lalu membaca qulhuwallahu ahad (surat al ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati (dipekuburan itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang mati disitu”.

(Mukhtasar Al-qurtubi hal. 26).

5. Hadits Riwayat Thabrani dan Baihaqi

“Dari Ibnu Umar ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jika mati salah seorang dari kamu, maka janganlah menahannya dan segeralah membawanya ke kubur dan bacakanlah Fatihatul kitab disamping kepalanya”.

6. Hadits riwayat Abu dawud, Nasa’I, Ahmad dan ibnu Hibban:

“Dari ma’qil bin yasar dari Nabi SAW., Beliau bersabda: “Bacakanlah surat yaasin untuk orang yang telah mati diantara kamu”.

B. Fatwa Ulama Tentang Sampainya Hadiah Pahala Bacaan kepada Mayyit

1. Berkata Muhammad bin ahmad al-marwazi :

“Saya mendengar Imam Ahmad bin Hanbal berkata : “Jika kamu masuk ke pekuburan, maka bacalah Fatihatul kitab, al-ikhlas, al falaq dan an-nas dan jadikanlah pahalanya untuk para penghuni kubur, maka sesungguhnya pahala itu sampai kepada mereka. Tapi yang lebih baik adalah agar sipembaca itu berdoa sesudah selesai dengan: “Ya Allah, sampaikanlah pahala ayat yang telah aku baca ini kepada si fulan…” (Hujjatu Ahlis sunnah waljamaah hal. 15)

2. Berkata Syaikh aIi bin Muhammad Bin abil lz :

“Adapun Membaca Al-qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang mati secara sukarela dan tanpa upah, maka pahalanya akan sampai kepadanya sebagaimana sampainya pahala puasa dan haji”. (Syarah aqidah Thahawiyah hal. 457).

3. Berkata Ibnu taymiyah :

“sesungguhnya mayyit itu dapat beroleh manfaat dengan ibadah-ibadah kebendaan seperti sedekah dan seumpamanya”. (yas alunka fiddin wal hayat jilid I/442).

Di atas adalah kitab ibnu taimiah berjudul majmuk fatawa jilid 24 pada mukasurat 324. Ibnu taimiah ditanya mengenai seseorang yang bertahlil, bertasbih,bertahmid,bertakbir dan menyampaikan pahala tersebut kepada simayat muslim lantas ibnu taimiah menjawab amalan tersebut sampai kepada si mayat dan juga tasbih,takbir dan lain-lain zikir sekiranya disampaikan pahalanya kepada si mayat maka ianya sampai dan bagus serta baik.

Manakala Wahhabi menolak dan menkafirkan amalan ini.

Di atas pula adalah kitab ibnu tamiah berjudul majmuk fatawa juzuk 24 pada mukasurat 324.ibnu taimiah di tanya mengenai seorang yang bertahlil 70000 kali dan menghadiahkan kepada si mayat muslim lantas ibnu taimiah mengatakan amalan itu adalah amat memberi manafaat dan amat baik serta mulia.

4. Berkata Ibnu qayyim al-jauziyah:

“sesuatu yang paling utama dihadiahkan kepada mayyit adalah sedekah, istighfar, berdoa untuknya dan berhaji atas nama dia. Adapun membaca al-qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada mayyit secara sukarela dan tanpa imbalan, maka akan sampai kepadanya sebagaimana pahala puasa dan haji juga sampai kepadanya (yasaaluunaka fiddin wal hayat jilid I/442)

Berkata Ibnu qayyim al-jauziyah dalam kitabnya Ar-ruh : “Al Khallal dalam kitabnya Al-Jami’ sewaktu membahas bacaan al-qur’an disamping kubur” berkata : Menceritakan kepada kami Abbas bin Muhammad ad-dauri, menceritakan kepada kami yahya bin mu’in, menceritakan kepada kami Mubassyar al-halabi, menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ala’ bin al-lajlaj dari bapaku : “ Jika aku telah mati, maka letakanlah aku di liang lahad dan ucapkanlah bismillah dan baca permulaan surat al-baqarah disamping kepalaku karena seungguhnya aku mendengar Abdullah bin Umar berkata demikian.

Ibnu qayyim dalam kitab ini pada halaman yang sama : “Mengabarkan kepadaku Hasan bin Ahmad bin al-warraq, menceritakan kepadaku Ali-Musa Al-Haddad dan dia adalah seorang yang sangat jujur, dia berkata : “Pernah aku bersama Ahmad bin Hanbal, dan Muhammad bin Qudamah al-juhairi menghadiri jenazah, maka tatkala mayyit dimakamkan, seorang lelaki kurus duduk disamping kubur (sambil membaca al-qur’an). Melihat ini berkatalah imam Ahmad kepadanya: “Hai sesungguhnya membaca al-qur’an disamping kubur adalah bid’ah!”. Maka tatkala kami keluar dari kubur berkatalah imam Muhammad bin qudamah kepada imam ahmad bin Hanbal : “Wahai abu abdillah, bagaimana pendapatmu tentang Mubassyar al-halabi?. Imam Ahmad menjawab : “Beliau adalah orang yang tsiqah (terpercaya), apakah engkau meriwayatkan sesuatu darinya?. Muhammad bin qodamah berkata : Ya, mengabarkan kepadaku Mubasyar dari Abdurahman bin a’la bin al-laj-laj dari bapaknya bahwa dia berwasiat apabila telah dikuburkan agar dibacakan disamping kepalanya permulaan surat al-baqarah dan akhirnya dan dia berkata : “aku telah mendengar Ibnu Umar berwasiat yang demikian itu”. Mendengar riwayat tersebut Imam ahmad berkata : “Kembalilah dan katakan kepada lelaki itu agar bacaannya diteruskan (Kitab ar-ruh, ibnul qayyim al jauziyah).

5. Berkata Sayaikh Hasanain Muhammad makhluf, Mantan Mufti negeri mesir : “ Tokoh-tokoh madzab hanafi berpendapat bahwa tiap-tiap orang yang melakukan ibadah baik sedekah atau membaca al-qur’an atau selain demikian daripada macam-macam kebaikan, boleh baginya menghadiahkan pahalanya kepada orang lain dan pahalanya itu akan sampai kepadanya.

6. Imam sya’bi ; “Orang-orang anshar jika ada diantara mereka yang meninggal, maka mereka berbondong-bondong ke kuburnya sambil membaca al-qur’an disampingnaya”. (ucapan imam sya’bi ini juga dikutip oleh ibnu qayyim al jauziyah dalam kitab ar-ruh hal. 13).

7. Berkata Syaikh ali ma’sum : “Dalam madzab maliki tidak ada khilaf dalam hal sampainya pahala sedekah kepada mayyit. Menurut dasar madzab, hukumnya makruh. Namun ulama-ulama mutakhirin berpendapat boleh dan dialah yang diamalkan. Dengan demikian, maka pahala bacaan tersebut sampai kepada mayyit dan ibnu farhun menukil bahwa pendapat inilah yang kuat”. (hujjatu ahlisunnah wal jamaah halaman 13).

8. Berkata Allamah Muhammad al-arobi: Sesungguhnya membaca al-qur’an untuk orang-orang yang sudah meninggak hukumnya boleh (Malaysia : Harus) dan sampainya pahalanya kepada mereka menurut jumhur fuqaha islam Ahlusunnah wal-jamaah walaupun dengan adanya imbalan berdasarkan pendapat yang tahqiq . (kitab majmu’ tsalatsi rosail).

9. Berkata imam qurtubi : “telah ijma’ ulama atas sampainya pahala sedekah untuk orang yang sudah mati, maka seperti itu pula pendapat ulama dalam hal bacaan al-qur’an, doa dan istighfar karena masing-masingnya termasuk sedekah dan dikuatkan hal ini oleh hadits : “Kullu ma’rufin shadaqah / (setiapkebaikan adalah sedekah)”. (Tadzkirah al-qurtubi halaman 26).

Begitu banyaknya Imam-imam dan ulama ahlusunnah yang menyatakan sampainya pahala bacaan alqur’an yang dihadiahkan untuk mayyit (muslim), maka tidak lah kami bisa menuliskan semuanya dalam risalah ini karena khawatir akan terlalu panjang.

C. Dalam Madzab Imam syafei

Untuk menjelaskan hal ini marilah kita lihat penuturan imam Nawawi dalam Al-adzkar halaman 140 : “Dalam hal sampainya bacaan al-qur’an para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang masyhur dari madzab Syafei dan sekelompok ulama adalah tidak sampai. Namun menurut Imam ahmad bin Hanbal dan juga Ashab Syafei berpendapat bahwa pahalanya sampai. Maka lebih baik adalah si pembaca menghaturkan doa : “Ya Allah sampaikanlah bacaan yat ini untuk si fulan…….”

Tersebut dalam al-majmu jilid 15/522 : “Berkata Ibnu Nahwi dalam syarah Minhaj: “Dalam Madzab syafei menurut qaul yang masyhur, pahala bacaan tidak sampai. Tapi menurut qaul yang Mukhtar, adalah sampai apabila dimohonkan kepada Allah agar disampaikan pahala bacaan terbut. Dan seyogyanya memantapkan pendapat ini karena dia adalah doa. Maka jika boleh berdoa untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh si pendoa, maka kebolehan berdoa denagn sesuatu yang dimiliki oleh si pendoa adalah lebih utama”.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam madzab syafei terdapat dua qaul dalam hal pahala bacaan :

1. Qaul yang masyhur yakni pahala bacaan tidak sampai

2. Qaul yang mukhtar yakni pahala bacaan sampai.

Dalam menanggapai qaul masyhur tersebut pengarang kitab Fathul wahhab yakni Syaikh Zakaria Al-anshari mengatakan dalam kitabnya Jilid II/19 :

“Apa yang dikatakan sebagai qaul yang masyhur dalam madzab syafii itu dibawa atas pengertian : “Jika alqur’an itu tidak dibaca dihadapan mayyit dan tidak pula meniatkan pahala bacaan untuknya”.

Dan mengenai syarat-syarat sampainya pahala bacaan itu Syaikh Sulaiman al-jamal mengatakan dalam kitabnya Hasiyatul Jamal Jilid IV/67 :

“Berkata syaikh Muhammad Ramli : Sampai pahala bacaan jika terdapat salah satu dari tiga perkara yaitu : 1. Pembacaan dilakukan disamping kuburnya, 2. Berdoa untuk mayyit sesudah bacaan Al-qur’an yakni memohonkan agar pahalanya disampaikan kepadanya, 3. Meniatkan samapainya pahala bacaan itu kepadanya”.

Hal senada juga diungkapkan oleh Syaikh ahmad bin qasim al-ubadi dalam hasyiah Tuhfatul Muhtaj Jilid VII/74 :

“Kesimpulan Bahwa jika seseorang meniatkan pahala bacaan kepada mayyit atau dia mendoakan sampainya pahala bacaan itu kepada mayyit sesudah membaca Al-qur’an atau dia membaca disamping kuburnya, maka hasilah bagi mayyit itu seumpama pahala bacaannya dan hasil pula pahala bagi orang yang membacanya”.

Namun Demikian akan menjadi lebih baik dan lebih terjamin jika ;

1. Pembacaan yang dilakukan dihadapan mayyit diiringi pula dengan meniatkan pahala bacaan itu kepadanya.

2. Pembacaan yang dilakukan bukan dihadapan mayyit agar disamping meniatkan untuk simayyit juga disertai dengan doa penyampaian pahala sesudah selesai membaca.

Langkah seperti ini dijadikan syarat oleh sebagian ulama seperti dalam kitab tuhfah dan syarah Minhaj (lihat kitab I’anatut Tahlibin Jilid III/24).

D. Dalil-dalil orang yang membantah adanya hadiah pahala dan jawabannya

1. Hadis riwayat muslim :

“Jika manusia, maka putuslah amalnya kecuali tiga : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang selalu mendoakan orang tuanya”

Jawab : Tersebut dalam syarah Thahawiyah hal. 456 bahwa sangat keliru berdalil dengan hadist tersebut untuk menolak sampainya pahala kepada orang yang sudah mati karena dalam hadits tersebut tidak dikatakan : “inqata’a intifa’uhu (terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat). Hadits itu hanya mengatakan “inqatha’a ‘amaluhu (terputus amalnya)”. Adapun amal orang lain, maka itu adalah milik (haq) dari amil yakni orang yang mengamalkan itu kepadanya maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepadanya. Jadi sampai itu pahala amal si mayyit itu. Hal ini sama dengan orang yang berhutang lalu dibayarkan oleh orang lain, maka bebaslah dia dari tanggungan hutang. Akan tetapi bukanlah yang dipakai membayar utang itu miliknya. Jadi terbayarlah hutang itu bukan oleh dia telah memperoleh manfaat (intifa’) dari orang lain.

2. Firman Allah surat an-najm ayat 39 :

“ Atau belum dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang diusahakannya”.

Jawab : Banyak sekali jawaban para ulama terhadap digunakannya ayat tersebut sebagai dalil untuk menolak adanya hadiah pahala. Diantara jawaban-jawaban itu adalah :

a. Dalam syarah thahawiyah hal. 1455 diterangkan dua jawaban untuk ayat tersebut :

1. Manusia dengan usaha dan pergaulannya yang santun memperoleh banyak kawan dan sahabat, melahirkan banyak anak, menikahi beberapa isteri melakukan hal-hal yang baik untuk masyarakat dan menyebabkan orang-orang cinta dan suka padanya. Maka banyaklah orang-orang itu yang menyayanginya. Merekapun berdoa untuknya dan mengahadiahkan pula pahala dari ketaatan-ketaatan yang sudah dilakukannya, maka itu adalah bekas dari usahanya sendiri. Bahkan masuknya seorang muslim bersama golongan kaum muslimin yang lain didalam ikatan islam adalah merupakan sebab paling besar dalam hal sampainya kemanfaatan dari masing-masing kaum muslimin kepada yang lainnya baik didalam kehidupan ini maupun sesudah mati nanti dan doa kaum muslimin yang lain. Dalam satu penjelasan disebutkan bahwa Allah SWT menjadikan iman sebagai sebab untuk memperoleh kemanfaatan dengan doa serta usaha dari kaum mukminin yang lain. Maka jika seseorang sudah berada dalam iman, maka dia sudah berusaha mencari sebab yang akan menyampaikannya kepada yang demikian itu. (Dengan demikian pahala ketaatan yang dihadiahkan kepadanya dan kaum mukminin sebenarnya bagian dari usahanya sendiri).

2. Ayat al-qur’an itu tidak menafikan adanya kemanfaatan untuk seseorang dengan sebab usaha orang lain. Ayat al-qur’an itu hanya menafikan “kepemilikan seseorang terhadap usaha orang lain”. Allah SWT hanya mengabarkan bahwa “laa yamliku illa sa’yah (orang itu tidak akan memiliki kecuali apa yang diusahakan sendiri). Adapun usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa yang mengusahakannya. Jika dia mau, maka dia boleh memberikannya kepada orang lain dan pula jika ia mau, dia boleh menetapkannya untuk dirinya sendiri. (jadi huruf “lam” pada lafadz “lil insane” itu adalah “lil istihqaq” yakni menunjukan arti “milik”).

Demikianlah dua jawaban yang dipilih pengarang kitab syarah thahawiyah.

b. Berkata pengarang tafsir Khazin :

“Yang demikian itu adalah untuk kaum Ibrahin dan musa. Adapun ummat islam (umat Nabi Muhammad SAW), maka mereka bias mendapat pahala dari usahanya dan juga dari usaha orang lain”.

Jadi ayat itu menerangkan hokum yang terjadi pada syariat Nabi Musa dan Nabi Ibrahim, bukan hukum dalam syariat nabi Muhammad SAW. Hal ini dikarenakan pangkal ayat tersebut berbunyi :

“ Atau belum dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang diusahakannya”.

c. Sahabat Nabi, Ahli tafsir yang utama Ibnu Abbas Ra. Berkata dalam menafsirkan ayat tersebut :

“ ayat tersebut telah dinasakh (dibatalkan) hukumnya dalam syariat kita dengan firman Allah SWT : “Kami hubungkan dengan mereka anak-anak mereka”, maka dimasukanlah anak ke dalam sorga berkat kebaikan yang dibuat oleh bapaknya’ (tafsir khazin juz IV/223).

Firman Allah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas Ra sebagai penasakh surat an-najm ayat 39 itu adalah surat at-thur ayat 21 yang lengkapnya sebagai berikut :

“Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dengan iman, maka kami hubungkan anak cucu mereka itu dengan mereka dan tidaklah mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya”.

Jadi menurut Ibnu abbas, surat an-najm ayat 39 itu sudah terhapus hukumnya, berarti sudah tidak bias dimajukan sebagai dalil.

d. Tersebut dalam Nailul Authar juz IV ayat 102 bahwa kata-kata : “Tidak ada seseorang itu…..” Maksudnya “tidak ada dari segi keadilan (min thariqil adli), adapun dari segi karunia (min thariqil fadhli), maka ada bagi seseorang itu apa yang tidak dia usahakan.

Demikianlah penafsiran dari surat An-jam ayat 39. Banyaknya penafsiran ini adalah demi untuk tidak terjebak kepada pengamalan denganzhahir ayat semata-mata karena kalau itu dilakukan, maka akan banyak sekali dalil-dalil baik dari al-qur’an maupun hadits-hadits shahih yang ditentang oleh ayat tersebut sehingga menjadi gugur dan tidak bias dipakai sebagai dalil.

3. Dalil mereka dengan Surat al-baqarah ayat 286 :

“Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kesanggupannya. Baginya apa yang dia usahakan (daripada kebaikan) dan akan menimpanya apa yang dia usahakan (daripada kejahatan)”.

Jawab : Kata-kata “laha maa kasabat” menurut ilmu balaghah tidak mengandung unsur hasr (pembatasan). Oleh karena itu artinya cukup dengan : “Seseorang mendapatkan apa yang ia usahakan”. Kalaulah artinya demikian ini, maka kandungannya tidaklah menafikan bahwa dia akan mendapatkan dari usaha orang lain. Hal ini sama dengan ucapan : “Seseorang akan memperoleh harta dari usahanya”. Ucapan ini tentu tidak menafikan bahwa seseorang akan memperoleh harta dari pusaka orang tuanya, pemberian orang kepadanya atau hadiah dari sanak familinya dan para sahabatnya. Lain halnya kalau susunan ayat tersebut mengandung hasr (pembatasan) seperti umpamanya :

“laisa laha illa maa kasabat”

“Tidak ada baginya kecuali apa yang dia usahakan atau seseorang hanya mendapat apa yang ia usahakan”.

4. Dalil mereka dengan surat yasin ayat 54 :

“ Tidaklah mereka diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”.

Jawab : Ayat ini tidak menafikan hadiah pahala terhadap orang lain karena pangkal ayat tersebut adalah :

“Pada hari dimana seseorang tidak akan didhalimi sedikitpun dan seseorang tidak akan diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”

Jadi dengan memperhatikan konteks ayat tersebut dapatlah dipahami bahwa yang dinafikan itu adalah disiksanya seseorang sebab kejahatan orang lain, bukan diberikannya pahala terhadap seseorang dengan sebab amal kebaikan orang lain (Lihat syarah thahawiyah hal. 456).

(ringkasan dari Buku argumentasi Ulama syafi’iyah terhadap tuduhan bid’ah,Al ustadz haji Mujiburahman, halaman 142-159, mutiara ilmu)

Semoga menjadi asbab hidayah bagi Ummat

Admin

http://salafytobat.wordpress.com/

Posted in Dalil shahih Tahlilan dan hadiah pahala, Sampainya Hadiah Bacaan Al-qur’an untuk mayyit (Orang Mati), Tahlilan dan hadiah pahala menurut sunnah, Tahlilan menurut imam madzab sunni dan hadits | Tagged: | Leave a Comment »

Shalat Qabliyah Jum’at (Dalilnya Sahih)

Posted by admin on June 18, 2009

Shalat Qabliyah Jum’at (Dalilnya Sahih)


Shalat Qabliyah Jum’at

Shalat qabliyah jumat hukumnya sunnah. Orang yang mengerjakannya akan mendapat pahala dan tidak berdosa orang yang meninggalkannya. Kesunatan ini berdasarkan hadis-hadis shahih, bukan hadits dhoif sebagaimana yang diduga oleh segelintir Orang.

A. Hadis-hadis yang menerangkan Shalat Qabliyah Jum’at

1. Hadits Riwayat Abu dawud

“Dari Ibnu Umar Ra. Bahwasanya ia senantiasa memanjangkan shalat qabliyah jum’at. Dan ia juga melakukan shalat ba’diyyah jumat dua rekaat. Ia menceritakan bahwasanya Rasulullah SAW senantiasa melakukan hal demikian”. (Nailul authar III/313).

Penilaian para muhadditsin terhadap hadist ini adalah :

Berkata Imam Syaukani: “Menurut Hafiz al-iraqi, hadits Ibnu umar itu isnadnya Sahih”.

Hafiz Ibnu Mulqin dalam kitabnya yang berjudul Ar-risalah berkata :”Isnadnya sahih tanpa ada keraguan”.

Imam Nawawi dalam Al-Khulashah mengatakan : ‘Hadits tersebut shohih menurut persyaratan Imam Bukhori. Juga telah dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam shohihnya’.

2. Hadits Riwayat Ibnu Majah

“Dari Abu Hurairah dan Abu Sufyan dari Jabir, keduanya berkata : Telah dating Sulaik al-Ghathfani ketika rasulullah tengah berkhutbah. Lalu Nabi bertanya kepadanya : “Apakah engkau sudah shalat dua rekaat sebelum dating kesini?” Dia mejawab : Belum. Nabi Saw. Bersabda: “Shalatlah kamu dua rekaat dan ringkaskanlah shalatmu” (Nailul Authar III/318).

Jelas sekali dalam hadits ini bagaimana Rasulallah saw. menganjurkan (pada orang itu) shalat sunnah qabliyyah jum’at dua raka’at sebelum duduk mendengarkan khutbah. Juga dalam menerangkan hadits ini Syeikh Syihabuddin al-Qalyubi (wafat 1070H) mengatakan; bahwa hadits ini nyata dan jelas berkenaan dengan shalat sunnah qabliyah jum’at, bukan shalat tahiyyatul masjid. Hal ini dikarenakan tahiyyatul masjid tidak boleh dikerjakan dirumah atau diluar masjid melainkan harus dikerjakan di masjid.

Syeikh Umairoh berkata: Andai ada orang yang mengatakan bahwa yang disabdakan oleh Nabi itu mungkin sholat tahiyyatul masjid, maka dapat dijawab “Tidak Mungkin”. Sebab shalat tahiyyatul masjid tidak dapat dilaku- kan diluar masjid, sedangkan nabi saw. (waktu itu) bertanya; Apakah engkau sudah sholat sebelum (dirumahnya) datang kesini ? (Al-Qalyubi wa Umairoh 1/212).

Begitu juga Imam Syaukani ketika mengomentari hadits riwayat Ibnu Majah tersebut mengatakan dengan tegas :

Sabda Nabi saw. ‘sebelum engkau datang kesini’ menunjukkan bahwa sholat dua raka’at itu adalah sunnah qabliyyah jum’at dan bukan sholat sunnah tahiyyatul masjid“.(Nailul Authar III/318)

Mengenai derajat hadits riwayat Ibnu Majah itu Imam Syaukani berkata ; ‘Hadits Ibnu Majah ini perawi-perawinya adalah orang kepercayaan’. Begitu juga Hafidz al-Iraqi berkata: ‘Hadits Ibnu Majah ini adalah hadits shohih’.

3. Hadits riwayat Bukhori dan Muslim

“Dari Abdullah bin Mughaffal al-Muzanni, ia berkata; Rasulallah saw. bersabda: ‘Antara dua adzan itu terdapat shalat’”. Menurut para ulama yang dimaksud antara dua adzan ialah antara adzan dan iqamah.

Mengenai hadits ini tidak ada seorang ulamapun yang meragukan keshohih- annya karena dia disamping diriwayatkan oleh Bukhori Muslim juga diriwayat kan oleh Ahmad dan Abu Ya’la dalam kitab Musnadnya. Dari hadits ini saja kita sudah dapat memahami bahwa Nabi saw. menganjurkan supaya diantara adzan dan iqamah itu dilakukan sholat sunnah dahulu, termasuk dalam katergori ini sholat sunnah qabliyah jum’at. Tetapi nyatanya para golongan pengingkar tidak mengamalkan amalan sunnah ini karena mereka anggap amalan bid’ah.

4. Riwayat dalam sunan Turmudzi II/18:

“Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwasanya beliau melakukan shalat sunnah qabliyah jum’at sebanyak empat raka’at dan sholat ba’diyah (setelah) jum’at sebanyak empat raka’at pula”.

Abdullah bin Mas’ud merupakan sahabat Nabi saw. yang utama dan tertua, dipercayai oleh Nabi sebagai pembawa amanah sehingga beliau selalu dekat dengan nabi saw. Beliau wafat pada tahun 32 H. Kalau seorang sahabat Nabi yang utama dan selalu dekat dengan beliau saw. mengamal- kan suatu ibadah, maka tentu ibadahnya itu diambil dari sunnah Nabi saw.

Penulis kitab Hujjatu Ahlis Sunnah Wal-Jama’ah setelah mengutip riwayat Abdullah bin Mas’ud tersebut mengatakan: “Secara dhohir (lahiriyah) apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Mas’ud itu adalah berdasarkan petunjuk langsung dari Nabi Muhammad saw.”

Dalam kitab Sunan Turmudzi itu dikatakan pula bahwa Imam Sufyan ats-Tsauri dan Ibnul Mubarak beramal sebagaimana yang diamalkan oleh Abdullah bin Mas’ud ( Al-Majmu’ 1V/10).

5. Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Thabrani:

“Dari Abdullah bin Zubair, ia berkata, Rasulallah saw. bersabda : ‘Tidak ada satupun sholat yang fardhu kecuali disunnahkan sebelumnya shalat dua raka’at’ “.

Menurut kandungan hadits ini jelas bahwa disunnahkan juga shalat qabliyyah jum’at sebelum sholat fardhu jum’at dikerjakan.

Mengenai derajat hadits ini Imam Hafidz as-Suyuthi mengatakan : ‘Ini adalah hadits shohih’ dan Ibnu Hibban berkata ; ‘Hadits ini adalah shohih’. Sedang- kan Syeikh al-Kurdi berkata: “Dalil yang paling kuat untuk dijadikan pegang- an dalam hal disyariatkannya sholat sunnah dua raka’at qabliyyah jum’at adalah hadits yang dipandang shohih oleh Ibnu Hibban yakni hadits Abdullah bin Zubair yang marfu’ (bersambung sanadnya sampai kepada Nabi saw.) yang artinya: ‘Tidak ada satupun shalat yang fardhu kecuali disunnahkan sebelumnya shalat dua raka’at’ “.

Demikianlah beberapa hadits yang shohih diatas sebagai dalil disunnah- kannya sholat qabliyyah jum’at.

B. Menurut Ulama ahli fiqih khususnya dalam madzhab Syafi’i

Sedangkan kesimpulan beberapa ulama ahli fiqih khususnya dalam madzhab Syafi’i tentang hukum sholat sunnah qabliyyah jum’at yang tertulis dalam kitab-kitab mereka ialah :

1. Hasiyah al-Bajuri 1/137 :

“Shalat jum’at itu sama dengan shalat Dhuhur dalam perkara yang disunnahkan untuknya. Maka disunnahkan sebelum jum’at itu empat raka’at dan sesudahnya juga empat raka’at”.

2. Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarah Muhazzab 1V/9 :

“Disunnahkan shalat sebelum dan sesudah jum’at. Minimalnya adalah dua raka’at qabliyyah dan dua raka’at ba’diyyah (setelah sholat jum’at). Dan yang lebih sempurna adalah empat raka’at qabliyyah dan empat raka’at ba’diyyah’.

3. Iqna’ oleh Syeikh Khatib Syarbini 1/99 :

“Jum’at itu sama seperti shalat Dhuhur.Disunnahkan sebelumnya empat raka’at dan sesudahnya juga empat raka’at”.

4. Imam Nawawi dalam Minhajut Thalibin :

“Disunnahkan shalat sebelum Jum’at sebagaimana shalat sebelum Dzuhur”.

Begitu juga masih banyak pandangan ulama pakar berbagai madzhab mengenai sunnahnya sholat qabliyyah jum’at ini.

Dengan keterangan-keterangan singkat mengenai kesunnahan sholat qabliyyah jum’at, kita akan memahami bahwa ini semua adalah sunnah Rasulallah saw., bukan sebagai amalan bid’ah. Semoga kita semua diberi hidayah oleh Allah swt.

Bab 4. Bid’ah yang dipermasalahkan

Posted in Shalat Qabliyah Jum’at (Dalilnya Sahih) | Tagged: | Leave a Comment »

Sunnatnya Shalat dua rekaat sebelum maghrib

Posted by admin on June 18, 2009

Sunnatnya Shalat dua rekaat sebelum maghrib

Shalat Sunnah Qabliyah maghrib

A. Hukum Shalat Sunnah Qabliyah maghrib

Hukum shalat sunnah dua rekaat sebelum maghrib adalah sunnah, diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak berdosa orang yang tidak melakukannya. Namun demikian kesunatan shalat dua rekaat qabliyah mghrib adalah ghair mu’akkad (tidak dikuatkan).

  1. B. Dalil-Dalil Shalat Sunnah qabliyah Maghrib

  1. Hadits riwayat Ahmad, Bukhary dan Abu Dawud :

“Dari Abdullah bin Mughaffal, bahwa rasulullah SAW. Bersabda : “Shalatlah kalian dua rekaat sebelum shalat maghrib!”. Kemudian beliau bersabda ketiga kalinya : “Bagi siapa yang suka melakukannya”. Hal ini karena beliau tidak mau kalau nanti orang-orang menjadikannya sebagai sesuatu yang wajib dilakukan”.

Menurut al-muhib athabari, sabda Nabi dengan lafadz: “karaa hiyata an yattakhidzahaannaasu sunnah” tidaklah berarti bahwa dua rekaat sebelum maghrib itu tidak sunnah hukumnya. Hal ini karena Nabi tidaklah mungkin memerintahkan sesuatu yang beliau sendiri tidak menyukainya. Bahkan hadits inilah yang menunjukan kesunahan dua rekaat sebelum maghrib. Sedangkan makna dari ucapan nabi diatas adalah: “Beliau tidak mau kalau nanti dia dijadikan sebagai “syarii’atan wa thariqatan laazimatan” yakni syari’at dan jalan yang wajib hukumnya”. Ucapan beliau itu bias juga menunjukan bahwa derajat shalat maghrib lebih rendah disbanding sunnat-sunnat rawatib lainnya. Karena itulah maka mayoritas ulama syafe’iyah tidak memasukannya ke dalam shalat-shalat sunat rawatib”. Demikian keterangan Imam Syaukani dalam Nailul authar jilid II halaman 8.

  1. Hadist Riwayat Ibnu Hibban

“Dari Abdullah bin Mughaffal bahwasanya Nabi Saw. Pernah melakukan shalat maghrib dua rekaat “

Hadits ini menunjukan adanya contoh langsung dari Nabi Muhammad Saw. Dimana beliau juga melakukan shalat dua rekaat sebelum maghrib.

  1. Hadist Riwayat Imam Muslim

“ Dari mukhtar bin fulful ia berkata : “Kami pada masa Nabi Saw. Melakukan shalat dua rekaat sesudah terbenam matahari sebelum shalat Maghrib. Beliau melihat kami melakukannya namun beliau tidak menyuruh dan juga tidak melarang”.

Hadist ini  menunjukan taqrir Nabi Saw. Ketika beliau melihat para shahabat melakukannya, beliau membiarkan dan tidak melarang.

  1. Hadist Riwayat Imam Ahmad dan Bukhary :

“Dari Abil khair dia berkata : “Aku pernah mendatangi Uqbah bin amir lalu berkata kepadanya : “Maukah engkau aku beritahukan sesuatu yang mengherankan dari Bani tamim dimana dia melakukan shalat dua rekaat sebelum maghrib?” Ubah berkata : “ Sesungguhnya kami pernah melakukannya di masa rasulullah saw.”. Aku berkata : “Lalu apa yang menghalangimu untuk melakukannya sekarang?”. Dia berkata : “Kesibukan”.

  1. Hadist Riwayat Imam Ahmad dan Bukhary :

“Dari Anas dia berkata : Ketika muadzdzin  sudah ber adzan, berdirilah beberapa shahabat Nabi Saw. Bergegas menuju tiang-tiang masjid sehingga Nabi Saw. keluar , sedang mereka masih dalam keadaan seperti ini yakni mereka shalat dua rekaat sebelum maghrib dan tidaklah terjadi sesuatunyang banyak antara adzan dan iqamah itu”.

  1. Hadist Riwayat Imam Bukhary :

“Dari uqbah bin Amir, ia berkata : “sesungguhnya para shahabat rasulullah Saw. melakukan shalat dua rekaat sebelum maghrib pada masa Rasulullah Saw.”.

Demikianlah beberapa hadits yang menerangkan tentang shalat dua rekaat sebelum maghrib dan terlihat dengan jelas dalam beberapa hadist diatas bahwa shalat dua rekaat sebelum maghrib itu pernah dilakukan dimasa rasulullah. Mengenai derajat hadits- hadist yang berkaitan dengan shalat dua rekaat sebelum maghrib, Imam Nawawi dalm kitabnya Al-majmu’ memberikan komentar sebagai berikut :

“Hadits-hadits ini (yang berkaitan dengan shalat dua rekaat sebelum maghrib) adalah shahih serta jelas menunjukan kesunahannaya”.

  1. C. Pendapat Imam-imam ahlusunnah mengenai shalat dua rekaat sebelum maghrib

  1. 1. Imam Nawawi,

Ia adalahseorang ulama ahli fiqh dan hadis. Beliau berkata dalam kitabnya Al-majmu’ syarah al muhazzab IV/8 :

“Dalam kesunnatan shalat dua rekaat sebelum maghrib terdapat dua pandangan yang mahsyur di kalangan khurasa. Namun pendapat shahih diantara keduanya adalah “ Sunnatnya shalat dua rekaat sebelum maghrib itu”.

  1. 2. Syaikh Nawawi al-Bantani

Beliau berkata dalam kitab nihayatuz zein halaman 99 :

“Disunnatkan melakukan shalat dua rekaat yang ringan sebelum maghrib berdasarkan sabda nabi Muhammad :

“Shalatlah kamu sebelum maghrib!” dan juga berdasarkan hadis nabi yang lain :

“Diantara adzan dan iqamah itu terdapat shalat”.

  1. D. Mengenai Hadist Riwayat Abu Dawud.

Adapun pendapat yang tidak menunatkan shalat dua rekaat sebelum maghrib, mereka beralasan dengan pernyataan ibnu umar dalam riwayat berikut ini :

“Dari Tahwus rah., ia berkata :”Ibnu umar pernah ditanya tentang shalat dua rekaat sebelum maghrib. Beliau menjawab : “Saya tidak seorang pun dimasa nabi SAW. melakukannya”. (HR Abu dawud, II : 26).

Namun terhadap pernyataan Ibnu Umar tersebut, Imam Nawawi dalam kitab Majmu, mengemukakan jawaban Imam Baihaqi dan para ulama Hadis lainnya sebagai berikut :

“Imam baihaqi dan para ulama hadits lainnya telah memberikan jawaban terhadap pernyataan Ibnu umar tersebut yakni bahwasanya Ibnu umar telah menafikan sesuatu yang tidak ia ketahui sedangkan yang demikian itu telah ditetapkan oleh shahabat-shahabat lain   yang justru mengetahuinya”. Maka wajiblah mendahulukan riwayat dari mereka yang menetapkan (sunnahnya shalat dua rekaat sebelum maghrib itu) dikarenakan mereka lebih banyak dank arena mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh Ibnu umar”.

  1. E. Kesimpulan

Dengan demikian, maka hadis riwayat Abu Dawud yang menyebutkan tentang pernyataan Ibnu umar itu tidaklah menggugurkan riwayat yang lain tentang shalat dua rekaat sebelum maghrib yang JUSTRU JUMLAHNYA LEBIH BANYAK SERTA JELAS MENGARAH KEPADA KESUNATANNYA dan DERAJAT HADIS-HADIS ITUPUN SHAHIH MENURUT AHLI HADIS.  juga kaidah ushul fiqh yang sudah disepakati mengatakan:

“MEREKA YANG MENETAPKAN (SUATU HUKUM) DIDAHULUKAN DARI YANG MENAFIKANNYA”.

Rujukan :

–          Al-majmu’ syarah al muhazzab, Imam Nawawi, IV/8

–          Argumentasi Ulama syafi’iyah terhadap tuduhan Bid’ah, Al ustadz Haji mujiburrhan, Mutiara Ilmu, Surabaya

–          Fathul Bari Syarah al-bukhary, Al hafidz ibnu hajar atsqalani

–          Nailul authar, Imam Syaukani,  jilid II halaman 8.

–          Nihayatuz zein, Saikh Nawawi albantani,  halaman 99

–          Syarah shahih muslim, Imam nawawi

–          Sunan Abu Dawud , Abu dawud, II : 26

Abu Haidar, Alumni Ponpes Darussa’adah, Gunung Terang,  Bandar Lampung

http://salafytobat.wordpress.com

Posted in Sunnatnya Shalat dua rekaat sebelum maghrib | Tagged: , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , | Leave a Comment »

Mengangkat Tangan Adalah Sunnah dan Adab sewaktu berdo’a

Posted by admin on June 18, 2009

Mengangkat Tangan Adalah Sunnah dan Adab sewaktu berdo’a

Mengangkat Tangan Adalah Sunnah dan Adab Sewaktu berdo’a


A. Hukum mengangkat tangan ketika Berdoa

Golongan sesat anti madzab membid’ahkan mengangkat kedua tangan waktu berdo’a. Sebenarnya ini sama sekali tidak ada larangan dalam agama, malah sebaliknya ada hadits bahwa Rasulallah saw. mengangkat tangan waktu berdo’a. Begitupun juga ulama-ulama pakar dari berbagai madzhab (Hanafi, Maliki , Syafi’i dan lain sebagainya) selalu mengangkat tangan waktu berdo’a, karena hal ini termasuk adab atau tata tertib cara berdo’a kepada Allah swt.

B. Dalil-Dalil  Mengenai mengangkat tangan ketika Berdoa

1. Hadits Riwayat Abu dawud

Sa’ad bin Abi Waqqash ra.berkata: Kami bersama Rasulallah saw. keluar dari Makkah menuju ke Madinah, dan ketika kami telah mendekati Azwara, tiba-tiba Rasulallah saw. turun dari kendaraannya, kemudian mengangkat kedua tangan berdo’a sejenak lalu sujud lama sekali, kemudian bangun mengangkat kedua tangannya berdo’a, kemudian sujud kembali, diulanginya perbuatan itu tiga kali. Kemudian berkata: ‘Sesungguhnya saya minta kepada Tuhan supaya di-izinkan memberikan syafa’at (bantuan) bagi ummat ku, maka saya sujud syukur kepada Tuhanku, kemudian saya mengangkat kepala dan minta pula kepada Tuhan dan diperkenankan untuk sepertiga, maka saya sujud syukur kepada Tuhan, kemudian saya mengangkat kepala berdo’a minta untuk ummatku, maka diterima oleh Tuhan, maka saya sujud syukur kepada Tuhanku’. (kitab Tarjamah Riyaadus Shalihin jilid 2, H.Salim Bahreisj cetakan keempat tahun 1978)

Dalam hadits ini menerangkan bahwa Rasulallah saw. tiga kali berdo’a sambil mengangkat tangannya setiap berdo’a, dengan demikian berdo’a sambil mengangkat tangan adalah termasuk sunnah Rasulallah saw.

2. Hadits Riwayat Abu Daud

Dari Ibnu Abbas ra., katanya : “Jika kamu meminta (berdo’a kepada Allah swt.) hendaklah dengan mengangkat kedua tanganmu setentang kedua bahumu atau kira-kira setentangnya, dan jika istiqhfar (mohon ampunan) ialah dengan menunjuk dengan sebuah jari, dan jika berdo’a dengan melepas semua jari-jemari tangan”. (Kitab Tarjamah Fiqih Sunnah Sayid Sabiq,  jilid 4 cetakan pertama tahun 1978 halaman 274-275, PT Alma’arif, Bandung Indonesia).

Malah dalam hadits ini, kita diberi tahu sampai dimana batas sunnahnya mengangkat tangan waktu berdo’a, dan waktu mengangkat tangan tersebut disunnahkan dengan menunjuk sebuah jari waktu mohon ampunan, melepas semua jari-jari tangan (membuka telapak tangannya) waktu berdo’a selain istiqfar.

3.  Hadis yang diriwayatkan dari Malik bin Yasar

Bahwa Rasulallah saw. bersabda : “Jika kamu meminta Allah, maka mintalah dengan bagian dalam telapak tanganmu, jangan dengan punggungnya !” Sedang dari Salman, sabda Nabi saw : “Sesungguhnya Tuhanmu yang Mahaberkah dan Mahatinggi adalah Mahahidup lagi Mahamurah, ia merasa malu terhadap hamba-Nya jika ia menadahkan tangan (untuk berdo’a) kepada-Nya, akan menolaknya dengan tangan hampa”. (Kitab Tarjamah Fiqih Sunnah Sayid Sabiq,  jilid 4 cetakan pertama tahun 1978 halaman 274-275, PT Alma’arif, Bandung Indonesia).

Lihat hadits ini Allah swt. tidak akan menolak do’a hamba-Nya waktu berdo’a sambil menadahkan tangan kepadaNya, dengan demikian do’a kita akan lebih besar harapan dikabulkan oleh-Nya!

4. Hadits yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim

Dari Anas bin Malik ra. menuturkan : “Aku pernah melihat Rasulallah saw. mengangkat dua tangan keatas saat berdo’a sehingga tampak warna keputih-putihan pada ketiak beliau”. (Kitab Tarjamah Fiqih Sunnah Sayid Sabiq,  jilid 4 cetakan pertama tahun 1978 halaman 274-275, PT Alma’arif, Bandung Indonesia).

Masih ada hadits yang beredar mengenai mengangkat tangan waktu berdo’a. Dengan hadits-hadits diatas ini, cukup buat kita sebagai dalil atas sunnahnya mengangkat tangan waktu berdo’a kepada Allah swt. Bagi saudaraku muslim yang tidak mau angkat tangan waktu berdo’a, silahkan, tapi janganlah mencela atau membid’ahkan saudara muslim lainnya yang mengangkat tangan waktu berdo’a !. Karena mengangkat tangan waktu berdo’a adalah sebagai adab atau sopan santun cara berdo’a kepada Allah swt. dan hal ini diamalkan oleh para salaf dan para ulama pakar (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Imam Ahmad –radhiyallahu ‘anhum– dan para imam lainnya).

C. Kesimpulan

Janganlah kita cepat membid’ahkan sesuatu amalan karena membaca satu hadits dan mengenyampingkan hadits lainnya. Semuanya ini amalan-amalan sunnah, siapa yang mengamalkan tersebut akan dapat pahala, dan yang tidak mengamalkan hal tersebut juga tidak berdosa. Karena membid’ahkan sesat sama saja mengharamkan amalan tersebut.

Rujukan :

Telaah kritis atas doktrin faham Salafi/ Wahabi, Bab IV.

–   Tarjamah Riyaadus Shalihin jilid 2, H.Salim Bahreisj,  cetakan keempat tahun 1978

–          Tarjamah Fiqih Sunnah Sayid Sabiq,  jilid 4 cetakan pertama tahun 1978 halaman 274-275, PT Alma’arif, Bandung Indonesia

http://salafytobat.wordpress.com

Posted in Mengangkat Tangan Adalah Sunnah dan Adab sewaktu berdo’a | Tagged: | Leave a Comment »